Sejarah pembungkaman pers di negeri ini tampaknya sedang berulang. Pertanda itu nyata terdengar dari ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin pekan silam. Yakni, saat Jaksa Bastian Hutabarat menuntut Bambang Harymurti hukuman dua tahun penjara dengan perintah terdakwa ditahan. Tim penuntut umum berkesimpulan, sang Pemimpin Redaksi Tempo terbukti melanggar Pasal XIV ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, yaitu menyiarkan berita bohong yang menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dan yang dapat menerbitkan keonaran. Selain itu juga dituduh mencemarkan nama baik dan memfitnah pelapor Tomy Winata, yang berarti melanggar Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Penggunaan pasal-pasal hukum pidana yang umum ini, tanpa mempedulikan sama sekali Undang-Undang Pers yang berlaku, mencerminkan semangat permusuhan pemerintah terhadap pers. Sebab, kasus ini bermula dari pemberitaan di Majalah Tempo Edisi 3-9 Maret 2003, yang menurut saksi-saksi ahli dari Dewan Pers telah memenuhi kaidah jurnalistik seperti diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Anehnya, tuntutan jaksa menafikan kesaksian-kesaksian itu. Padahal, menurut undang-undang, Dewan Pers adalah lembaga yang berwenang menilai kepatuhan atau ketidakpatuhan sebuah produk media terhadap aturan baku pemberitaan. Yang diutamakan justru Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, yang diterbitkan pada 26 Februari 1946, pada saat pemerintah Indonesia sedang menyongsong perang dengan Belanda, yang hingga Desember 1949 belum mengakui kemerdekaan negeri ini.
Pasal 14 aturan ini jelas dibuat untuk mengantisipasi aksi provokasi militer Belanda di wilayah Republik. Buktinya, undang-undang ini, menurut pasal 16, dinyatakan tidak berlaku di Jakarta, bekas Negara Bagian Sumatera Timur, bekas Negara Bagian Indonesia Timur, dan di seluruh Kalimantan, yaitu wilayah yang saat itu berada di bawah kekuatan militer sekutu. Kemudian, setelah rakyat Sumatera menyatakan ikut Republik, undang-undang ini direvisi hampir lima bulan kemudian, hingga berlaku pula di pulau tersebut.
Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949 membuat Pasal XIV UU No. 1 Tahun 1946 ini tak digunakan lagi. Terutama karena sejak saat itu konstitusi yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar 1950, yang memberikan perlindungan kuat pada hak rakyat untuk berpendapat, termasuk kemerdekaan pers. Namun delapan tahun kemudian pasal-pasal ganas undang-undang ini bahkan dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia melalui UU No. 73 Tahun 1958, yaitu ketika Indonesia dinyatakan berada dalam keadaan perang, yang dimulai sejak Presiden Sukarno memberlakukan keadaan darurat militer, 14 Maret 1957. Peneliti Herbert Feith menahbiskan kejadian bersejarah itu sebagai permulaan babak keruntuhan sistem demokrasi konstitusional Republik Indonesia.
Enam tahun silam bangsa Indonesia memulai babak yang lain, babak kebangkitan kembali demokrasi di negeri ini. Kebebasan pendapat lahir kembali dan pers nasional menikmati lagi kemerdekaannya. Namun kini pasal-pasal perang kuno itu hendak digunakan lagi oleh pemerintah untuk membungkam pers, yang berarti pula upaya jahat untuk menyembunyikan kebenaran. Sebab, seperti kata Pujangga Aeschylus lebih dari 2.500 tahun silam, "Kebenaran adalah korban perang yang pertama."
Upaya ini harus dilawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini