Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Selamat Datang, Panglima Tajir

1 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASRAT akan kekayaan sama tuanya dengan sejarah peradaban. Meski tidak tercantum dalam konvensi hak-hak asasi manusia versi apa pun, hak untuk menjadi kaya melekat dalam fitrah insani—dan mustahil dihapus. Di masa lampau, beberapa pemerintah otoriter pernah berusaha menafikan hasrat itu dengan sistem pengawasan—bahkan pemiskinan—yang ketat, misalnya pada era Khmer Rouge di Kamboja. Hasilnya selalu tak manusiawi.

Karena itu, ketika seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat melontarkan pertanyaan, "Apakah tentara tak boleh kaya?" sebagai komentar atas terpilihnya Jenderal Moeldoko sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia, komentar itu benar belaka. Tapi komentar yang benar belum tentu tepat.

Dalam uji kelayakan, Rabu pekan lalu, Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat secara bulat menyetujui pengangkatan Moeldoko sebagai pengganti Laksamana Agus Suhartono, yang pensiun bulan ini. Calon tunggal yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu melangkah mulus hingga ke upacara pelantikan, Jumat pekan lalu. Tinggallah tersisa sejumlah pertanyaan, terutama mengenai catatan kekayaan sang Panglima.

Menyimak karier Moeldoko, penunjukannya sebagai pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia bisa dianggap "alamiah". Ia mencapai pangkat kolonel tepat 19 tahun setelah lulus dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pada 1981. Menurut catatan, hanya ada tiga prajurit lain yang meraih pangkat tertinggi sesuai dengan jadwal: Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo Subianto. Di angkatannya, Moeldoko keluar sebagai lulusan terbaik dengan menyandang Adhi Makayasa.

Perjalanan karier itu, ternyata, berbanding lurus pula dengan catatan kekayaannya—sesuatu yang justru langka di kalangan prajurit. Dalam laporan hartanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, tahun lalu, Moeldoko melaporkan jumlah sekitar Rp 36 miliar. Ketika itu, ia menjabat Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional.

Andai jumlah itu belum bergerak sampai ketika ia diangkat sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia, hartanya lebih dari sepuluh kali lipat kekayaan panglima yang digantikannya. Dibandingkan dengan kekayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja, harta Moeldoko masih empat kali lebih banyak.

Di kalangan tentara, sampai saat ini, jumlah itu terbilang fantastis. Sebaran kekayaan itu juga menyangkut ranah yang sangat luas. Selain mobil, ada rumah, apartemen, tanah, emas, batu mulia, dolar Amerika Serikat, sampai peternakan ikan arwana serta perkebunan-perkebunan kelapa sawit, kayu jati, dan kayu sengon. Tanah dan propertinya tersebar dari Jakarta, Bogor, Bandung, Denpasar, Pasuruan, hingga Pontianak di Kalimantan Barat. Di situ, misalnya, Moeldoko punya tanah 400 hektare yang ditanami kelapa sawit.

Moeldoko menerangkan sebagian kekayaannya berasal dari "hibah" mertua, yang memang dikenal sebagai saudagar kaya di Pasuruan, Jawa Timur. Pada pernikahannya saja, 1985, sang mertua memberi pesangon Rp 900 juta, jumlah yang sangat banyak ketika itu. Kekayaannya yang lain, menurut pengakuan Moeldoko, berasal dari "pergaulan yang luas" dan kedekatannya dengan pejabat tinggi ketentaraan, yang membuat ia akhirnya berkenalan dengan sejumlah pengusaha.

Pada bagian inilah, sebetulnya, para anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat bisa mempertajam sikap kritis. Jumlah kekayaan bukanlah satu-satunya kenyataan yang bisa dipersoalkan. Lebih penting dari itu adalah modus mengumpulkan kekayaan tersebut, dan waktu serta energi yang diperlukan untuk mengelolanya. Dalam kasus Moeldoko, sang Jenderal sudah menjelaskan sebagian harta itu hibah dari mertua, plus "hasil pergaulan yang luas". Yang belakangan ini, sepertinya, bisa ditelisik lebih saksama.

Dengan aset begitu besar dan luas, patut pula dipertanyakan "sisa waktu dan energi" yang bisa dicadangkan Moeldoko untuk mengemban tugas yang dipercayakan di atas pundaknya, yaitu sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia. Posisi itu semakin penting mengingat penyelenggaraan pemilihan umum sudah di depan mata. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri berpesan agar Jenderal Moeldoko, bersinergi dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, membantu pengamanan pemilihan umum.

Moeldoko sendiri menjanjikan berbagai program untuk masa jabatannya, dari pendidikan sampai kesejahteraan prajurit. Setelah pengesahan Undang-Undang Alat Utama Sistem Pertahanan Negara, senjata tempur Indonesia akan semakin canggih, sehingga dibutuhkan pendidikan khusus. Dengan beban tugas demikian berat, dan kekayaan demikian besar, hendaklah Jenderal Moeldoko bijak memilih skala prioritas dan mengemban jabatannya secara bertanggung jawab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus