Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Audit Badan Pemeriksa Keuangan atas kasus korupsi proyek Hambalang semakin menunjukkan busuknya lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Para legislator tak hanya menggelembungkan nilai proyek pembangunan sarana olahraga itu, tapi juga menjamahkan tangannya pada proses audit BPK. Ini terlihat dari lenyapnya nama 15 anggota DPR yang diduga terlibat dari draf awal audit. Hasil final audit tak lagi menyebutkan bagaimana para legislator itu berperan menggelembungkan nilai proyek. Komisi Pemberantasan Korupsi mesti mengusut keanehan ini.
Peran ke-15 anggota Dewan itu penting ditelisik. Merekalah yang bertanggung jawab sehingga proyek yang semula dialokasikan untuk satu tahun anggaran APBN 2010 sebesar Rp 126 miliar berubah menjadi proyek tahun jamak APBN 2011 dan 2012 senilai total Rp 2,6 triliun. Modus penggelembungan dilakukan dengan menandatangani persetujuan secara bertahap. Dalam pembahasan APBN-P 2010, mereka meneken tambahan anggaran bagi Kementerian Olahraga Rp 600 miliar. Dari jumlah itu, Rp 150 miliar dialokasikan bagi proyek Hambalang. Padahal penambahan itu belum dibahas dalam rapat kerja Komisi X dengan Kementerian Olahraga.
Modus serupa diulang saat pembahasan APBN 2011. Kali ini mereka meneken draf alokasi tambahan Rp 920 miliar. Dari jumlah itu, Rp 500 miliar adalah jatah proyek Hambalang. Lagi-lagi, persetujuan ini tanpa melalui rapat DPR dengan pemerintah. Akibat semua penambahan anggaran yang fantastis ini, negara dirugikan Rp 471 miliar.
Para legislator berkilah semua proses sudah dilakukan dengan benar. Rapat kerja dengan Kementerian Olahraga, misalnya, menurut mereka sudah berlangsung. Anehnya, rapat anggaran yang biasanya alot dan berkali-kali itu hanya berlangsung sekali. Penambahan anggaran pun mulus disetujui hanya berbekal mandat rapat untuk dibahas dalam kelompok kerja anggaran. Ada pula keanehan lain. Juhaini Alie, salah satu anggota Dewan yang tanda tangannya tercantum dalam persetujuan, belakangan menyatakan tak pernah menorehkan tanda tangan. Dia malah menduga tanda tangannya dipalsukan.
Semua keanehan itu tak tercantum dalam audit BPK, yang hasil finalnya sudah diserahkan ke DPR pada 23 Agustus lalu. BPK menjelaskan tak pernah mengedit draf laporannya. Hasil final audit pun, menurut mereka, tak perlu mencantumkan ketidaklaziman proses persetujuan anggaran. Mereka beralasan ini sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara, yang membatasi kewenangan BPK hanya dalam mengawasi proses penganggaran di lembaga pemerintah.
Argumen ini mengada-ada. BPK punya otoritas cukup untuk memeriksa semua proses penganggaran di DPR. Kewenangan ini dijamin dalam Ketetapan MPR Nomor X Tahun 2011. Di sini disebutkan BPK perlu meningkatkan efektivitas pemeriksaan terhadap lembaga tinggi negara, termasuk DPR.
Penghilangan nama para legislator itu juga pelanggaran terhadap tiga peraturan sekaligus, yaitu Undang-Undang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan, Undang-Undang BPK, dan Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Inti ketiga aturan itu adalah BPK wajib mencantumkan semua hal substansial dalam auditnya. Jelas, adanya 15 nama legislator penanda tangan persetujuan anggaran adalah hal substansial. Bahkan, menurut pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, BPK wajib melaporkan ke penegak hukum jika melihat ada indikasi penyelewengan uang negara.
Semua ketidakberesan itu harus diusut. Bahkan KPK tak cukup hanya mengusut peran ke-15 nama anggota Dewan dalam skandal ini, tapi juga menelisik mengapa BPK bisa mengubah laporannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo