Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah potret buram otonomi daerah akibat salah urus. Kabupaten Tasikmalaya ngotot menjual aset untuk menutup defisit anggaran. Pemerintah Kabupaten Garut tak mampu membayar tagihan rumah sakit umum untuk pelayanan kesehatan warga miskin. Sedikitnya sepuluh kabupaten dan kota di Nanggroe Aceh Darussalam bangkrut dan harus berutang untuk membayar gaji pegawai.
Setelah kebijakan otonomi daerah berjalan satu dasawarsa sejak 2001, banyak daerah yang kondisi keuangannya dinyatakan tak sehat. Hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri menyimpulkan hampir separuh dari 526 kabupaten dan kota menghabiskan belanja pegawai sekitar 50 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Ada 116 daerah yang alokasi belanja rutinnya dipatok di atas 60 persen APBD.
Skema belanja seperti ini tentu saja mempengaruhi kesehatan keuangan negara. Dari Rp 1.230 triliun total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011, misalnya, Rp 636,99 triliun atau 52 persennya dialokasikan untuk pemerintah daerah. Padahal lebih dari setengah kabupaten dan kota membelanjakan dana dari pusat hanya untuk menggerakkan birokrasinya. Maka dukungan pemerintah pusat dalam membiayai mesin birokrasi di pelbagai daerah yang terbukti tidak efisien seharusnya dihentikan.
Efek domino kepailitan harus dicegah. Moratorium pemekaran daerah yang digagas Kementerian Dalam Negeri dan didukung presiden mesti tetap dilaksanakan. Kebijakan ini janganlah dihalang-halangi. Tak usahlah eksekutif mengindahkan tuntutan para politikus dan legislator di Senayan yang cenderung membuka kembali pemekaran daerah.
Di masa jeda itulah evaluasi praktek otonomi daerah dilakukan secara menyeluruh. Dari sini diharapkan kelemahan, penyimpangan, dan pelanggaran, khususnya dalam pemanfaatan anggaran, dapat diidentifikasi. Upaya ini harus menghasilkan cara membenahi pengaturan anggaran agar tidak timpang dan tidak salah sasaran hingga menjadi pangkal utama kebangkrutan.
Peringatan Kementerian Keuangan juga patut dicermati. Mayoritas laporan keuangan daerah pada tahun lalu dinyatakan masih buruk. Alokasi, perencanaan proyek, dan pengucuran dananya kacau-balau. Bahkan ada pemimpin daerah yang hanya mendepositokan sisa dananya setelah digunakan untuk belanja pegawai. Skema alokasi untuk mendanai sektor produktif, melalui pos belanja modal daerah, juga kudu dihidupkan.
Pemangku kepentingan di daerah harus memiliki kemampuan kewirausahaan. Setiap daerah yang amburadul pengelolaan keuangannya diminta membuat studi kelayakan, seperti di dunia usaha. Dari situlah bisa dinilai rencananya dalam mencari pendapatan asli daerah. Daerah perlu diberi kebebasan untuk menggenjot pendapatan asli daerah, meski di sisi lain tetap harus dikontrol agar tidak menerabas peraturan induk.
Sistem pengawasan pusat untuk daerah yang masuk "program intensif" perlu segera dibenahi agar daerah keluar dari kebangkrutan. Opsi kembali bergabung dengan daerah induk pascapemekaran juga tetap dibuka, untuk meminimalkan efek kerusakan di pelbagai daerah bangkrut.
Di masa moratorium ini, pemerintah pusat wajib mengembalikan otonomi daerah dan desentralisasi ke tujuan semula, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di situ dinyatakan otonomi daerah merupakan semangat reformasi, demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan di daerah-daerah. Bukan untuk menyuburkan korupsi dan inefisiensi yang mengakibatkan kebangkrutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo