Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wali Kota Bogor Diani Budiarto bukanlah pejabat yang patut dicontoh soal kepatuhan terhadap hukum. Ia melecehkan putusan Mahkamah Agung dalam kasus Gereja Kristen Indonesia Yasmin, Bogor. Bahkan pembangkangan Diani ini sampai dilaporkan kepada Ombudsman Indonesia. Lembaga negara yang punya misi melindungi hak-hak masyarakat memperoleh keadilan itu sudah mengeluarkan rekomendasi yang meminta Pemerintah Kota Bogor mencabut surat keputusan Wali Kota dalam waktu 60 hari. Surat keputusan yang dimaksudkan adalah pembekuan izin mendirikan bangunan gereja yang terletak di Taman Yasmin, Bogor, itu—dikenal dengan GKI Yasmin.
Jemaat GKI Yasmin memperoleh izin mendirikan bangunan pada 13 Juli 2006. Tiba-tiba, dengan alasan surat dukungan warga sekitar cacat, Wali Kota Bogor membekukan izin mendirikan bangunan tersebut pada 14 Februari 2008.
Pihak GKI Yasmin menempuh jalur hukum dan menggugat Pemerintah Kota Bogor ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, dan gugatan itu dikabulkan. Pemerintah Kota Bogor naik banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Banding pun ditolak.
Pemerintah Kota Bogor terus melawan dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Ternyata Mahkamah pada Desember 2010 tetap menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi. Artinya, Wali Kota Bogor harus mencabut surat pembekuan izin mendirikan bangunan GKI Yasmin. Bukannya menjalankan putusan Mahkamah, Wali Kota malah menyegel gereja itu pada Januari 2011. Alasannya, ia melaksanakan hasil pertemuan Musyawarah Pimpinan Daerah Bogor.
Sejak penyegelan yang melawan hukum itu, jemaat GKI Yasmin melakukan ibadah di trotoar depan gereja. Jelas saja muncul gesekan dengan masyarakat sekitar, terutama tukang ojek yang mangkal di sana. Wali Kota lalu memberi ancaman akan menghentikan kegiatan ibadah di trotoar karena tempat itu fasilitas umum. Aneh bin ajaib, penggunaan fasilitas umum untuk ibadah dijadikan alasan, padahal pangkal masalah, yakni gereja—sarana resmi untuk beribadah—disegel tanpa dasar hukum, sama sekali tidak digubris.
Dasar bertindak Wali Kota Bogor perlu dipertanyakan. Ia menyebutkan penyegelan gereja ini mengacu kepada surat keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pembangunan tempat ibadah. Padahal, jiwa dari surat keputusan bersama dua menteri ini adalah, persyaratan persetujuan pembangunan tempat ibadah oleh masyarakat sekitar hanya berlaku pada saat tempat ibadah itu akan dibangun. Begitu izin mendirikan bangunan diperoleh, apalagi tempat ibadah sudah digunakan, protes masyarakat yang menyusul tak semestinya mempengaruhi keberadaan tempat ibadah itu.
Yang perlu dijamin adalah kepastian hukum. Bayangkan, kalau sekarang ini, misalnya, penduduk di sekitar Masjid Istiqlal atau Gereja Immanuel atau Pura Hindu Rawamangun di Jakarta tiba-tiba memprotes karena merasa tak pernah dimintai persetujuan membangun tempat ibadah itu, apakah protes ini bisa dijadikan alasan mencabut izin mendirikan bangunan tempat ibadah tersebut?
Wali Kota Bogor tak punya pilihan selain patuh kepada putusan hukum yang sudah final ini. Lembaga Ombudsman memberi waktu dua bulan untuk mencabut surat keputusan itu. Masih ada waktu buat Wali Kota Diani Budiarto untuk tidak melawan hukum lantaran tekanan massa yang tak memahami masalah. Di negeri ini, tak boleh ada yang menginjak-injak hukum atas nama alasan apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo