Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUT besar Mila Rosinta dan Luise Najib bertemu. Punggung mereka membusung menahan beban. Keduanya menuruni undakan yang dipenuhi dedaunan kering. Penari dan penyanyi asal Yogyakarta itu menempelkan tubuh, saling membelakangi dan menengadahkan kedua tangan. Empat penari berperut besar lalu bergabung. Mereka melakukan gerakan kayang sambil memegangi kandungan.
Perempuan-perempuan "hamil tua" berjalan tertatih-tatih, memicingkan mata, dan berteriak kesakitan. Gerakan-gerakan mereka berlatar gambar janin. Mila kemudian menembus layar bergambar bakal bayi. Ia seperti berada di dalam tabung dengan embrio bayi. Dentingan piano liris Gardika Gigih mengiringi gerakan Mila.
Adegan itu membuka pertunjukan kolaborasi tari, musik, dan visual bertajuk "Mother Earth" di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa malam pekan lalu. Pentas tersebut mengkombinasikan tari kontemporer dengan teknologi digital tiga dimensi. Pertunjukan itu juga disertai pemutaran video tentang bumi dan laut serta foto-foto dan suara-suara yang menggambarkan kelahiran manusia. Sentuhan filmis terasa saat menonton foto-foto karya Rio Pharaoh yang menampilkan duet Mila dan Luise di hutan pinus Imogiri dan Bukit Panguk, Kediwung, Bantul; Pantai Glagah, Kulon Progo; serta "Stonehenge" di Sleman.
Kostum karya desainer Manda Baskoro terinspirasi dari kostum ala Timur Tengah dan Afrika. Pada foto-foto yang mengambil latar sejumlah tempat wisata di Yogyakarta, misalnya, Manda menyertakan kostum dengan benda mirip tanduk rusa yang ditaruh di kepala Mila. Ada juga tali yang dikelabang melingkari kepala dan bulu-bulu burung mirip baju. "Saya terinspirasi dari film superhero Marvel, Black Panther, yang sedang tren. Kostum mengikuti apa yang universal agar bisa diterima masyarakat," ujar Manda.
Pada titik dramatis koreografi, Mila dan semua penari melakukan gerakan-gerakan yang berfokus pada keseimbangan tubuh. Mereka menjaga kendi di atas kepala, saling melempar kendi, dan menggotong tubuh Mila beramai-ramai. Kendi menyimbolkan rahim ibu yang melindungi kehidupan di dalamnya. Mila dan Luise menutup pertunjukan dengan menggendong anak masing-masing. Luise, yang dikenal dengan lagu-lagu bertema cinta, kemudian menyanyikan tembang tentang anak yang memberikan harapan dan kekuatan bagi ibu. Pianis Gardika Gigih menutup pertunjukan dengan mengiringi alunan lirik karya Luise.
Mila tampak ingin menyuguhkan koreografi yang dibalut dengan tampilan-tampilan visual yang "eksotis". Mila adalah lulusan Jurusan Tari Institut Seni Indonesia. Ia dikenal mendirikan Mila Art Dance (MAD) di Kawasan Wisata Kuliner Kampung Pringwulung, Sleman, Yogyakarta. Koreografer Martinus Miroto melihat upaya Mila melibatkan teknologi digital cukup serius. "Tari dan digital menjadi tontonan zaman now dan masa depan. Anak muda dekat dengan teknologi," ujarnya.
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo