TIDAK mudah jadi orang tua, yang harus bersaing dengan anak-anak
muda di abad ke-20. Mas Wahidin Soediraoesada adalah pensiunan
"dokter Jawa" dan pada suatu hari di tahun 1906 ia berkeliling.
Ia terdorong oleh suatu keinginan baik: ingin mendirikan sebuah
badan yang dapat membantu pemuda Jawa yang berbakat untuk
memperoleh beasiswa.
Hasilnya tak banyak. Baru setelah Mas Wahidin yang sepuh itu
ketemu para mahasiswa STOVIA (sekolah doktcr pribumi),
gagasannya disambut dengan penuh semangat. Tapi dengan segera
Mas Wahidin tahu para mahasiswa itu sebenarnya ingin sesuatu
yang lain.
Gagasan memberi beasiswa tiba-tiba diperluas ke arah gagasan
terbentuknya Algemeen Javascbe Bond (Persatuan Jawa Umum). Untuk
itu dibentuklah Boedi Oetomo, dengan tujuan menggugah dan
memajukan rakyat Jawa. Dan kepemimpinan Boedi Oetomo dengan
segera terlepas dari Mas Wahidin pensiunan dokter Jawa itu. Di
depannya muncul sudah sejumlah mahasiswa kedokteran yang lebih
bergelora: Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo beserta kakaknya,
Tjipto.
Tapi juga tak mudah jadi anak muda dalam suatu masa perubahan
nilai-nilai yang gawat dalam awal abad ke-20 melepaskan diri
dari pengaruh orang-orang tua dan yang berkedudukan yang
kebetulan menjadi anggota perkumpulan.
Dalam kongresnya di bulan Oktober 1908, misalnya, para anggota
yang muda menghendaki tujuan yang lebih luas ketimbang sekedar
mengurus beasiswa dan merawat kebudayaan. Tapi mereka terbentur
pada kenyataan ini orang-orang tua mulai cemas. Cabang Boedi
Oetomo dari Yogya yang banyak punya pinisepu/dengan segera
mengambil-alih kepemimpinan. Main-main politik, nak? Nanti
dulu.
Bagi Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerianingrat (yang
kelak jadi Ki Hadjar Dewantara), politik tidak bisa nanti dulu.
Mereka berdua menentang apa yang agaknya mereka anggap terlalu
lamban dalam garis baru Boedi Oetomo. Bukankah air di tanah
jajahan tidak setenang dan sejernih yang disangka? Tjipto dan
Soewardi menghendaki aksi segera. Bagi mereka, sistim politik
kolonial adalah begitu rupa, hingga kehidupan kebudayaan yang
ada hanya akan meneruskan status-quo.
Dr. Tjipto memang pemberontak. Ketika pemerintah penjajahan
memberinya bintang atas jasa-jasanya dalam memberantas wabah pes
di tahun 1911, bintang itu konon dipasangnya di pantat. Robert
Van Niel, gurubesar sejarah yang menulis The Emergence of the
Modern Indonesian Elite (1960), menilai Tjipto sebagai "seorang
idealis yang punya ciri bukan-Indonesia."
Van Niel, yang lebih suka melihat gejolak di Hindia Belanda di
awal abad ke-20 seakan-akan hanya akibat psikologi "priyayi
kecil" yang tersisih, memang bukan sejarawan yang bisa
diharapkan sangat kagum kepada Tjipto. Tapi baiklah. Tjipto
memang bukan nampak seperti orang pribumi bagi mereka yang
menyangka bahwa seorang Tjipto tak berkaitan dengan kenyataan
pribumi waktu itu sebuah bangsa yang dihina.
Adanya kaitan itulah yang membikin Tjipto tidak sendiri.
Soewardi Soerianingrat, bangsawan tinggi dari Yogya itu, ikut
bersamanya. Dan serentak itu. juga sejumlah anak muda lain.
Ketika mereka ini melihat bahwa Boedi Oetomo terus ingin
berkecimpung hanya di bidang kebudayaan, mereka meninggalkannya.
Tjipto dan Soewardi bergabung dengan Indische Partij yang
didirikan Setiabudi alias Douwes Dekker di tahun 1911. Partai
ini tekanannya semata-mata politik. Bila Indonesia merdeka
nanti, sangka mereka, segala hal akan beres.
Tapi rupanya tak mudah untuk memberi kata putus jalan manakah
yang terbaik mencapai kemerdekaan -- jalan politik atau jalan
kebudayaan dan pendidikan. Soewardi kemudian ternyata
meninggalkan jalannya yang lama, ketika ia pulang dari
pembuangan di Negeri Belanda dan mendirikan Taman Siswa. Boedi
Oetomo sendiri juga terombang-ambing, seperti banyak intelektuil
dan organisasi Indonesia yang lain.
Tapi bagaimana mencari jawab? Mungkin memang suatu ilusi untuk
mengubah keadaan tanpa jalan politik. Tapi sering perubahan
politik hanya sekedar perubahan bentuk panggung dan nama aktor
-- yang karena persis seperti cerita lama, jadi sangat
mengecewakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini