Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Seperti Cerita Lama

Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerianingrat bergabung dengan Indische Partij yang penekanan utama pada politik. Boedi Oetomo aktif dalam kebudayaan & pendidikan. Akhirnya sama seperti organisasi lain.

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK mudah jadi orang tua, yang harus bersaing dengan anak-anak muda di abad ke-20. Mas Wahidin Soediraoesada adalah pensiunan "dokter Jawa" dan pada suatu hari di tahun 1906 ia berkeliling. Ia terdorong oleh suatu keinginan baik: ingin mendirikan sebuah badan yang dapat membantu pemuda Jawa yang berbakat untuk memperoleh beasiswa. Hasilnya tak banyak. Baru setelah Mas Wahidin yang sepuh itu ketemu para mahasiswa STOVIA (sekolah doktcr pribumi), gagasannya disambut dengan penuh semangat. Tapi dengan segera Mas Wahidin tahu para mahasiswa itu sebenarnya ingin sesuatu yang lain. Gagasan memberi beasiswa tiba-tiba diperluas ke arah gagasan terbentuknya Algemeen Javascbe Bond (Persatuan Jawa Umum). Untuk itu dibentuklah Boedi Oetomo, dengan tujuan menggugah dan memajukan rakyat Jawa. Dan kepemimpinan Boedi Oetomo dengan segera terlepas dari Mas Wahidin pensiunan dokter Jawa itu. Di depannya muncul sudah sejumlah mahasiswa kedokteran yang lebih bergelora: Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo beserta kakaknya, Tjipto. Tapi juga tak mudah jadi anak muda dalam suatu masa perubahan nilai-nilai yang gawat dalam awal abad ke-20 melepaskan diri dari pengaruh orang-orang tua dan yang berkedudukan yang kebetulan menjadi anggota perkumpulan. Dalam kongresnya di bulan Oktober 1908, misalnya, para anggota yang muda menghendaki tujuan yang lebih luas ketimbang sekedar mengurus beasiswa dan merawat kebudayaan. Tapi mereka terbentur pada kenyataan ini orang-orang tua mulai cemas. Cabang Boedi Oetomo dari Yogya yang banyak punya pinisepu/dengan segera mengambil-alih kepemimpinan. Main-main politik, nak? Nanti dulu. Bagi Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerianingrat (yang kelak jadi Ki Hadjar Dewantara), politik tidak bisa nanti dulu. Mereka berdua menentang apa yang agaknya mereka anggap terlalu lamban dalam garis baru Boedi Oetomo. Bukankah air di tanah jajahan tidak setenang dan sejernih yang disangka? Tjipto dan Soewardi menghendaki aksi segera. Bagi mereka, sistim politik kolonial adalah begitu rupa, hingga kehidupan kebudayaan yang ada hanya akan meneruskan status-quo. Dr. Tjipto memang pemberontak. Ketika pemerintah penjajahan memberinya bintang atas jasa-jasanya dalam memberantas wabah pes di tahun 1911, bintang itu konon dipasangnya di pantat. Robert Van Niel, gurubesar sejarah yang menulis The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1960), menilai Tjipto sebagai "seorang idealis yang punya ciri bukan-Indonesia." Van Niel, yang lebih suka melihat gejolak di Hindia Belanda di awal abad ke-20 seakan-akan hanya akibat psikologi "priyayi kecil" yang tersisih, memang bukan sejarawan yang bisa diharapkan sangat kagum kepada Tjipto. Tapi baiklah. Tjipto memang bukan nampak seperti orang pribumi bagi mereka yang menyangka bahwa seorang Tjipto tak berkaitan dengan kenyataan pribumi waktu itu sebuah bangsa yang dihina. Adanya kaitan itulah yang membikin Tjipto tidak sendiri. Soewardi Soerianingrat, bangsawan tinggi dari Yogya itu, ikut bersamanya. Dan serentak itu. juga sejumlah anak muda lain. Ketika mereka ini melihat bahwa Boedi Oetomo terus ingin berkecimpung hanya di bidang kebudayaan, mereka meninggalkannya. Tjipto dan Soewardi bergabung dengan Indische Partij yang didirikan Setiabudi alias Douwes Dekker di tahun 1911. Partai ini tekanannya semata-mata politik. Bila Indonesia merdeka nanti, sangka mereka, segala hal akan beres. Tapi rupanya tak mudah untuk memberi kata putus jalan manakah yang terbaik mencapai kemerdekaan -- jalan politik atau jalan kebudayaan dan pendidikan. Soewardi kemudian ternyata meninggalkan jalannya yang lama, ketika ia pulang dari pembuangan di Negeri Belanda dan mendirikan Taman Siswa. Boedi Oetomo sendiri juga terombang-ambing, seperti banyak intelektuil dan organisasi Indonesia yang lain. Tapi bagaimana mencari jawab? Mungkin memang suatu ilusi untuk mengubah keadaan tanpa jalan politik. Tapi sering perubahan politik hanya sekedar perubahan bentuk panggung dan nama aktor -- yang karena persis seperti cerita lama, jadi sangat mengecewakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus