PERTEMUAN 2 hari membicarakan pusat pemrosesan pengungsi
Indocina di Ruangan Bali Hotel Indonesia Sheraton pekan lalu
ditutup 4 jam lebih lambat dari rencana semula. Menlu Mochtar
Kusumaatmadja, ketua pertemuan itu, tidak banyak tertawa seperti
biasanya. "Malam ini pertemuan telah sepakat mendukung pendirian
pusat pemrosesan pengungsi Indocina di pulau Galang," kata
Mochtar mengawali konperensi pers seusai pertemuan Rabu malam
lalu. Dukungan itu diberikan oleh 24 negara yang menghadiri
pertemuan itu termasuk Vietnam.
Usul untuk membuat pusat pemrosesan datang dari Asean. Indonesia
menyediakan pulau Galang di kepulauan Riau dengan daya tampung
sekitar 10 ribu orang, sedang Pilipina menawarkan pulau Tara
yan mampu menampung antara 5 sampai 7 ribu pengungsi yang siap
diproses. Beberapa syarat diajukan Asean biaya operasi pusat
pemrosesan ditanggung Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR)
serta negara maju dan negara ketiga yang bersedia menerima
pengungsi.
Juga, negara penyedia pulau atau tempat pemrosesan tetap
memegang kedaulatan, pengawasan administratif serta tanggung
jawab keamanan terhadap pulau tersebut. Dan yang terpenting
harus ada jaminan dari negara ketiga bahwa negara penyedia pulau
tidak akan dibebani masalah sisa. Artinya tidak akan ada
pengungsi yang tersisa di tempat pemrosesan dan juga di negara
penerima pertama.
Syarat terakhir ini yang tampaknya paling sulit dipecahkan
hingga pertemuan berjalan alot. "Dengan gampang mereka
menyatakan mendukung adanya pusat pemrosesan. Tapi diajak
membicarakan syarat ini, mereka cukup enggan," cerita seorang
anggota delegasi Indonesia.
Secara konsensus, usul pusat pemrosesan diterima semua pihak.
Tapi tidak semua negara bersedia menyumbang dana untuk
pembiayaan pusat ini. Perancis misalnya, yang merupakan satu
negara penampung pengungsi Indocina terbesar dengan jumlah
sekitar 50 ribu orang sejak 1975, menyatakan tidak akan
menyumbang untuk pusat ini. Alasannya: Perancis telah
mempunyai cara yang cepat untuk menampung pengungsi tanpa
harus melewati pusat pemrosesan.
Pertemuan menyetujui juga agar selekasnya UNHCR melakukan studi
kelayakan di pulau Galang bekerjasama dengan pemerintah
Indonesia serta badan PBB lainnya. Menjelang konperensi, dalam
suatu kertas kerja pemerintah Indonesia telah mengajukan
perkiraan biaya untuk mendirikan serta mengoperasikan pusat
pemrosesan ini. Taksiran jumlah biaya $ 18.562.000 antara lain
untuk membangun asrama 200 unit masing-masing $ 15.000 per unit
200 toilet seharga $ 2.500 atau sekitar Rp 1,5 juta per unit.
Juga 200 dapur dan kamar mandi dengan harga yang sama. Untuk
personalia diperlukan $ 635.000. Antara lain 18 supir dengan
gaji $ 300 perbulan, 8 pengetik dengan gaji $ 500/bulan, 4
dokter dan 6 jururawat dengan gaji masing-masing $ 2.300 dan $
700 per bulan.
Beberapa delegasi asing berpendapat taksiran ini "terlalu
tinggi." Tapi ada juga delegasi yang kurang perduli pada
taksiran biaya itu. "Yang penting kami bersedia menyumbang,"
tutur seorang anggota delegasi negara maju. Tampaknya ada negara
yang kuatir kalau sampai menimbulkan kesan tidak mau membantu
usaha kemanusiaan ini.
Kehadiran delegasi Vietnam menarik perhatian. Penduduk Vietnam
yang mengungsi keluar, menurut Dubes Tran My, umumnya karena
mereka termakan propaganda. Banyak yang lari ke luar karena
tidak bisa menyesuaikan diri dengan suasana sulit setelah
perang. Vietnam berjanji akan mengijinkan ke luar rakyatnya yang
ingin bergabung dengan keluarganya yang telah bermukim di negara
lain. "Siapa saja yang mau, tanpa pandang bulu boleh
meninggalkan Vietnam untuk bergabung dengan keluarganya di luar
negeri," kata utusan khusus Wakil PM Vietnam Vu Hoang pada
TEMPO.
Sampatkumar
Sejak Januari Vietnam sudah memberitahu UNHCR bahwa pemerintah
Vietnam akan mengurus secara legal mereka yang ingin
meninggalkan negeri itu. "Yang sudah terdaftar 20 ribu orang.
Sedang yang siap diberangkatkan 10 ribu orang, kebanyakan akan
ke Amerika Serikat dan Perancis," tutur Vu Hoang.
Kesediaan Vietnam ini dibenarkan Rajagopalan Sampatkumar, Kepala
Perwakilan UNHCR di Asteng. "Tindakan Vietnam mengijinkan
keluarnya pengungsian secara legal diharapkan bisa mengurangi
pengungsian ilegal," katanya. Biasanya mereka itu bisa keluar
Vietnam asal membayar semacam uang pelicin. "Besarnya,
tergantung pada kemampuan masing-masing, mulai $ 100 3ampai $
500 seorang," tutur seorang pengungsi di Kamp Tg. Unggat, masih
di Tg. Pinang, dua pekan lalu pada TEMPO. Bulan depan
Sampatkumar akan membicarakan ini lebih lanjut dengan pemerintah
Vietnam di Hanoi dan sekaligus akan membuka kantor UNHCR di Ho
Chi Minh City (Saigon).
Sejak 1975 ditaksir sekitar 340 ribu pengungsi Vietnam masuk ke
Asean terutama Muangthai dan Malaysia. Sekitar 210 ribu saat
ini masih menunggu pemukimannya di negara penerima. Di luar
Asean, Hongkong misalnya dibanjiri 28 ribu pengungsi
Indocina. Dan arus ini belum tampak mereda. "Masalahnya sekarang
adalah bagaimana menutup kran asal pengungsi ini, dan membuka
kran negara penerima hingga tidak ada sisa di tengah," kata
Dirjen Politik Deplu Anwar Sani.
Kran Vietnam tampaknya masih saja terbuka lebar, sedang negara
penerima belum mampu menampung semua pengungsi yang ada. Namun
pihak penerima pun mempunyai alasan. "Kesulitan kita untuk
menampung, karena mahal biayanya. Dan lagi, kita menganut
kebijaksanaan keseimbangan antara kemanusiaan dan kemampuan
menampung," ujar Dubes Australia Thomas Critchley pada TEMPO.
"Meski demikian, negara maju kelihatannya tidak keberatan
menyediakan dana untuk pusat pemrosesan itu," kata Sani.
Kesediaan itu akan dibicarakan dan akan ada tindak lanjutnya
setelah studi kelayakan. Kemungkinan, dubes mereka akan diundang
Menlu tak mendapat penjelasan itu. Untuk menyelesaikannya,
tentunya. Jadi apakah pertemuan Jakarta berhasil? Ringkasan
kesimpulan ketua yang dikeluarkan selesai pertemuan sendiri
memang tidak menyebutkan bahwa pertemuan itu berhasil. "Tapi
kita gembira, dapat mengadakan pertemuan negara asal dan
penerima pengungsi," kata Mochtar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini