Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Tak Cukup Mengusut Lukas Enembe

Pemberantasan korupsi tanpa disertai perubahan paradigma Jakarta dalam melihat Papua tak banyak gunanya bagi hajat hidup warga di provinsi itu.

25 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROBLEM kusut di Papua tidak akan beres hanya dengan mengusut perkara korupsi di provinsi ini. Dalam waktu bersamaan dua pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe, Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak, dan Bupati Mimika Eltinus Omaleng sebagai tersangka korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Problem Papua lebih dalam dari korupsi kepala daerah. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan puncak kerakusan manusia. Tapi di Papua korupsi juga merupakan wujud kekacauan kebijakan pemerintah pusat dalam memperlakukan provinsi di timur Indonesia itu. Selama ini pembangunan di sana berlangsung sentralistik: otonomi khusus diterjemahkan semata sebagai alokasi anggaran. Aspirasi orang Papua dalam pembangunan di wilayahnya tak diperhatikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Izin industri ekstraktif yang melahirkan konflik lahan, pendekatan militeristik dan kekerasan untuk menaklukkan Papua, hingga pembangunan infrastruktur yang tak diperlukan orang di sana membuat kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah pusat jatuh ke titik terendah. Orang Papua hanya bisa menonton pembangunan ala Jakarta yang tak mereka inginkan. Terakhir adalah pemekaran wilayah yang seolah-olah memberikan kesempatan kepada warga Papua untuk berdikari dalam unit pemerintahan yang lebih kecil tapi nyatanya ditujukan agar Jakarta lebih mudah menyetir provinsi itu.

Korupsi memang harus diberantas. Tapi kehendak membereskan Papua dengan masuk dari pemberantasan korupsi, sebagaimana diklaim oleh KPK, adalah salah kaprah.

Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini Badan Riset dan Inovasi Nasional) pada 2017 menunjukkan 14 persen orang asli Papua menganggap pelanggaran hak asasi manusia sebagai masalah terbesar. Lebih dari separuh responden orang Papua menilai pemerintah perlu membereskan dua hal pokok selain perlindungan HAM, yakni hak hidup dan hak mengelola sumber daya alam.

Survei lembaga negara yang sudah lama ada itu diabaikan. Musababnya adalah penguasa tak memiliki perspektif pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada kepentingan warga lokal. Pemerintah lebih senang mendatangkan investor dan mengendalikan pembangunan lewat pemekaran wilayah.

Pengusutan korupsi terhadap Lukas Enembe pun mudah melahirkan syak wasangka. KPK mengaku kesulitan memeriksa Lukas di Papua dan membawanya ke Jakarta. Jumpa pers yang dilakukan Komisi bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tak rinci mengungkap modus korupsi politikus Partai Demokrat ini. Ia hanya dituduh menerima gratifikasi Rp 1 miliar dan dugaan pencucian uang ke rumah judi senilai Rp 560 miliar.

Sebagai gubernur dari partai non-pemerintah dan kerap mengkritik kebijakan Jakarta, pengusutan Lukas ini mudah dituding sebagai langkah politis. Lukas, misalnya, terang-terangan menolak izin investasi pertambangan emas di Blok Wabu. Jika tak dijernihkan, penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi akan menambah garam ke luka orang Papua.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus