Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tak boleh gegabah menyambut rencana Cina memperbesar porsi proyek energi hijau dalam postur investasi global mereka. Kucuran investasi dari Cina tentu bisa menjadi solusi untuk mengatasi seretnya pembiayaan transisi energi. Tapi, sebesar apa pun gelontoran dana itu, hanya akan menimbulkan seabrek persoalan jika pemerintah tak kunjung membenahi buruknya pengelolaan proyek investasi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Woro-woro yang disampaikan Presiden Cina Xi Jinping dalam pembukaan Belt and Road Forum for International Cooperation di Beijing, Rabu, 18 Oktober lalu, terdengar menggiurkan. Xi berjanji memperbesar dukungan pembiayaan proyek Belt and Road Initiative (BRI), kebijakan ambisius Cina yang digulirkan satu dekade lalu untuk membangun kemitraan bisnis dan investasi di negara-negara berkembang. China Development Bank dan Bank Ekspor-Impor Cina masing-masing akan menyiapkan 350 miliar yuan atau setara dengan Rp 759 triliun. Dana ini belum termasuk komitmen tambahan senilai 80 miliar yuan atau sekitar Rp 173 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Berharap Bantuan Cina Kembangkan Energi Bersih
Yang bikin tambah semringah tamu undangan, termasuk Presiden Joko Widodo, Xi Jinping juga menegaskan komitmen untuk meningkatkan kerja sama pembangunan hijau, seperti di sektor energi dan transportasi. Jokowi, dalam pertemuan bilateral di sela-sela forum tersebut, menyambutnya. Selain menawarkan proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara, dia meminta Xi Jinping menyokong penambahan kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia.
Pemerintah memang sedang kepepet dikejar target program percepatan transisi energi, bagian dari upaya memenuhi komitmen Indonesia kepada dunia untuk mencapai netral karbon pada 2060. Dalam kalkulasi pemerintah, program ini membutuhkan biaya sebesar US$ 1 triliun—kini setara dengan Rp 15.849 triliun. Sebagian besar di antaranya diharapkan ditutup oleh berbagai skema pendanaan, dari investasi swasta, hibah, hingga pinjaman multilateral.
Sejauh ini, sejumlah opsi pendanaan transisi energi yang tercatat di buku kerja pemerintah masih sebatas komitmen. Rencana pendanaan senilai US$ 20 miliar lewat skema Just Energy Transition Partnership (JETP), misalnya, terkatung-katung. Kucuran dana yang dijanjikan oleh sejumlah negara maju dan lembaga keuangan internasional itu sudah molor tiga bulan dari jadwal awal.
Di sisi lain, berbagai sasaran program transisi energi yang ditetapkan dalam peta jalan net zero emission Indonesia 2060 kini semakin tampak tak realistis. Target yang paling pendek saja, seperti meningkatkan porsi EBT menjadi 23 persen dari bauran energi nasional pada 2025, terancam meleset. Per Juni 2023, kontribusi energi terbarukan pada total kapasitas terpasang pembangkit listrik hanya 12,13 persen.
Maka pemerintah tak boleh melewatkan peluang pendanaan hijau dari Cina untuk mengakselerasi pengembangan energi bersih. Ekonomi bakal menanggung beban sangat besar pada masa mendatang jika terus bergantung pada bahan bakar fosil. Karena pasti habis, sumber energi ini bakal semakin mahal. Rendahnya komitmen terhadap transisi energi juga bisa membuat Indonesia semakin terkucil dari arus investasi global yang kini ramah lingkungan.
Namun upaya mendatangkan pembiayaan transisi energi itu juga harus disertai penghitungan yang transparan, akuntabel, dan komprehensif. Selama ini, investasi Cina selalu bersifat all in, modal yang ditanamkan oleh investor asal Tiongkok akan diikuti kesepakatan penarikan pinjaman, pemanfaatan teknologi, dan penggunaan tenaga kerja. Kerap kali "paket bantuan" dari Beijing itu justru menimbulkan eksternalitas negatif bagi negara ini.
Amat disayangkan, pemerintah cenderung mengabaikannya. Walhasil, buruknya pola kerja sama investasi dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kini malah menambah risiko fiskal. Program penghiliran hasil tambang untuk mendukung pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik justru mempercepat laju deforestasi di sejumlah daerah kaya nikel. Rencana pembangunan industri pengolahan pasir silika dan panel surya di Pulau Rempang, Batam, juga memicu konflik agraria akibat pengabaian terhadap hak-hak masyarakat.
Keberhasilan investasi semestinya tak hanya diukur dari besarnya kucuran dana dan banyaknya proyek yang dihasilkan. Kualitasnya justru diuji dari seberapa mampu investasi tersebut mengungkit pertumbuhan ekonomi yang menciptakan kesejahteraan orang banyak sekaligus melindungi lingkungan hidup. Jangan sampai silap mata melihat peluang pendanaan transisi energi justru melahirkan bencana di kemudian hari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo