Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OBRAL gelar profesor untuk pesohor dan dosen yang merekayasa persyaratan mencerminkan rendahnya kejujuran akademik di Indonesia. Banyaknya guru besar abal-abal menegaskan rapuhnya sistem di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang lebih banyak mengakomodasi akademikus yang sebenarnya inkompeten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaliknya, calon guru besar yang memiliki kompetensi dihambat tanpa alasan yang jelas. Mereka kesulitan mendapatkan jabatan fungsional tertinggi tersebut meski pelbagai syarat, seperti jumlah artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal bereputasi dan jam terbang mengajar, sudah terpenuhi. Padahal mereka selama puluhan tahun mengabdikan diri demi perkembangan ilmu pengetahuan. Kinerja akademik dan ketekunan mereka dalam menggeluti bidang ilmu terabaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu pangkal persoalannya adalah kerumitan administrasi persyaratan guru besar. Gejala otoritarianisme di lingkungan akademik—ditandai dengan senioritas dan pengambilan keputusan yang tidak transparan di sejumlah kampus—memperkeruh proses permohonan gelar guru besar. Budaya urut kacang ini menihilkan prestasi dan kontribusi bagi ilmu pengetahuan. Subyektivitas birokrasi membuka peluang bagi mereka yang ingin mengambil jalan pintas.
Para profesor imitasi itu mungkin memenuhi syarat secara administratif, tapi memalukan secara substansial. Lihat saja cara mereka mempublikasikan artikel ilmiahnya di jurnal predator atau memanipulasi persyaratan lain, termasuk dugaan bersekongkol dengan asesor. Terbentuklah mafia gelar profesor.
Akibatnya, kampus dikuasai orang-orang yang tidak jujur. Ini membuat dunia ilmu pengetahuan dan intelektual kita kering kerontang. Kehadiran mereka sebenarnya lebih banyak menjadi beban ketimbang menjadi aset produktif.
Bagi dosen, pencapaian gelar guru besar mendongkrak reputasi dan besaran gaji. Sedangkan bagi kampus, makin banyak guru besar akan mendongkrak nilai akreditasi. Lagi-lagi urusannya soal cuan. Status akreditasi unggul ini membuat makin banyak calon mahasiswa tertarik mendaftar, makin banyak pula kampus menerima fulus.
Di negara yang tingkat pendidikannya maju, jumlah guru besar minimal 20 persen dari jumlah dosen aktif. Di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2023, jumlah guru besar hanya 2,61 persen dari sekitar 300 ribu dosen aktif di 4.523 perguruan tinggi.
Jumlah ini tidak mencapai separuh dari persentase guru besar di Malaysia, yang pada 2018 saja sudah mencapai 5,65 persen dari total dosen aktif. Jumlah guru besar yang masih minim itu mendorong kampus membuka keran, termasuk untuk pesohor. Jabatan guru besar beralih menjadi jabatan politis berorientasi fulus.
Agar kebobrokan tidak makin dalam, Kementerian Pendidikan bisa memulai perbaikan dengan mengubah sistem pengusulan seseorang menjadi guru besar. Pertama, tak perlu ragu untuk mengevaluasi secara terbuka semua gelar guru besar yang diperoleh dengan cara akal-akalan. Bila perlu, kampus mencabut gelar guru besar tersebut. Sudah saatnya kita memupus sikap feodal yang menghamba akan jabatan guru besar.
Kedua, membentuk sistem baru yang melibatkan akademikus yang bereputasi sebagai reviewer alias pengulas artikel ilmiah para calon guru besar. Sambil membangun sistem baru, kalangan kampus memperkuat kejujuran akademis dengan membentuk komunitas ilmiah yang otonom.
Merujuk pada Undang-Undang Guru dan Dosen, guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional dan akademik tertinggi di lingkungan kampus. Bukan semata-mata pengakuan atas prestasi akademik, jabatan ini menyimpan makna keteladanan dan tanggung jawab moral bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Makna itulah yang sejatinya dimiliki seorang guru besar.