Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah baru menerbitkan peraturan pemerintah tentang standar nasional pendidikan.
Sejumlah hal dalam peraturan itu bertentangan dengan undang-undang di bidang pendidikan.
Pemerintah dan DPR perlu menata kesemrawutan regulasi ini.
Cecep Darmawan
Guru Besar Ilmu Politik serta Ketua Program Studi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah mendapat banyak sorotan, akhirnya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan telah diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022. Meskipun telah berubah, ternyata peraturan baru tersebut masih menyisakan sejumlah persoalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan pertama adalah disharmoni mengenai muatan kurikulum wajib di jenjang pendidikan dasar dan menengah, yakni antara Pasal 40 ayat 2 di peraturan baru itu dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut mencantumkan pendidikan Pancasila sebagai muatan dalam kurikulum wajib, bahkan mata pelajaran wajib di kedua jenjang pendidikan. Namun hal ini bertentangan dengan undang-undang tersebut, yang tidak menyatakan pendidikan Pancasila sebagai muatan kurikulum wajib.
Masuknya pendidikan Pancasila dalam kurikulum wajib ini tentunya bertujuan memperkuat upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila terhadap peserta didik melalui mata pelajaran pendidikan Pancasila. Masyarakat pun akan menyambut baik adanya pengaturan ini. Namun kita tidak boleh menafikan disharmoni peraturan tersebut.
Pembentukan suatu peraturan pemerintah haruslah tertib hukum, yakni memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Pemerintah tentunya memahami asas lex superior derogat legi inferiori, bahwa aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah. Karena itu, pemerintah harus mengatasi persoalan disharmoni regulasi tersebut.
Persoalan kedua adalah inkonsistensi antara undang-undang dan peraturan pemerintah yang baru. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama, kewarganegaraan, dan bahasa. Namun Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan peraturan pemerintah itu menyebutkan mata kuliah wajibnya adalah agama, Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.
Perbedaan muatan inilah yang menyebabkan peraturan pemerintah yang baru dinilai bermasalah. Sejatinya, Undang-Undang Pendidikan Tinggi diperlakukan sebagai lex specialis, yang dapat mengesampingkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional sebagai lex generalis sehingga dapat berlaku asas lex specialis derogat legi generalis. Namun para ahli pendidikan memandang sangatlah aneh jika Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang merupakan induk bagi seluruh regulasi pendidikan, justru harus menyesuaikan dengan Undang-Undang Pendidikan Tinggi, yang merupakan turunannya.
Masalah ketiga adalah inkonsistensi soal akreditasi. Peraturan pemerintah itu menyatakan bahwa akreditasi oleh pemerintah pusat dilakukan terhadap "program pendidikan" pada jenjang pendidikan tinggi. Padahal Undang-Undang Pendidikan Tinggi hanya menyebutkan bahwa akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan "program studi" di perguruan tinggi.
Frasa "program pendidikan" dan "program studi" itu merupakan dua konsep berbeda. Menurut Undang-Undang Pendidikan Tinggi, program studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum serta metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademis, pendidikan profesi, dan pendidikan vokasi. Adapun program pendidikan, antara lain, adalah program sarjana, program magister, program doktor, program diploma, magister terapan, doktor terapan, program profesi, dan program spesialis.
Selain itu, terdapat inkonsistensi mengenai lembaga akreditasi mandiri. Undang-Undang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa "lembaga akreditasi mandiri" merupakan lembaga bentukan pemerintah atau masyarakat yang diakui oleh pemerintah atas rekomendasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Adapun peraturan pemerintah yang baru menyatakan bahwa dalam hal program pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi telah dilakukan akreditasi oleh "lembaga mandiri", maka pemerintah pusat tidak melakukan akreditasi. Meski lembaga akreditasi mandiri dan lembaga mandiri tampak sekilas serupa, keduanya merupakan institusi yang berbeda.
Perbedaan-perbedaan frasa itu adakan berdampak dalam pelaksanaan regulasi. Akreditasi terhadap program pendidikan tentu berbeda dari akreditasi terhadap program studi di perguruan tinggi. Sama halnya dengan akreditasi oleh lembaga mandiri, tentu berbeda dengan akreditasi oleh lembaga akreditasi mandiri, yang sudah punya dasar hukum pada undang-undang dan sudah berlangsung selama ini.
Peraturan pemerintah yang baru ini ternyata tidak sepenuhnya dapat menyelesaikan akar persoalan disharmoni regulasi pendidikan. Sebaliknya, ia justru akan menciptakan tafsir hukum dan persoalan baru yang disebabkan oleh terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dengan regulasi lain di bidang pendidikan. Karena itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu duduk bersama untuk menata kembali kesemrawutan regulasi ini agar hukum pendidikan di Indonesia menjadi harmonis, sinkron, dan tertib.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo