Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPASTIAN hukum dan keadilan semestinya memang berjalan seiring. Ketika suatu peraturan diundangkan secara pasti serta mengatur dengan jelas satu pokok masalah, seharusnya keadaan itu membuahkan keadilan bagi orang banyak. Di negeri ini, dengan pahit harus kita akui, kepastian hukum sering tidak berjalan searah dengan keadilan, malah kadang kala bertabrakan. Kasus penjualan hak tagih (cessie) Bank Bali merupakan satu contohnya.
Perkara yang berawal pada September 1999 itu diputuskan majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung dua tahun kemudian. Dari empat berkas yang diputuskan Mahkamah saja tanda tanya besar sudah muncul. Keputusan kasasi itu berlawanan.
Dua perkara pidana melibatkan Joko Tjandra dan Pande Lubis. Joko, pemilik PT Era Giat Prima, dibebaskan Mahkamah dari dakwaan melakukan kejahatan korupsi. Uang Rp 546 miliar hasil cessie Bank Bali yang disita jaksa diputuskan harus dikembalikan kepada Joko Tjandra. Keputusan perkara pidana untuk Pande Lubis, bekas Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, ternyata bagai bumi dan langit. Mahkamah menghukum Pande empat tahun penjara.
Ada pertimbangan hukum yang bertolak belakang. Kalau uang Rp 546 miliar sudah dinyatakan "bersih" dan diperoleh dengan tidak melawan hukum dalam kasus Joko Tjandra, artinya Pande Lubis pun tak melakukan perbuatan melawan hukum dengan membantu Joko mencairkan uang itu. Tapi Pande dipersalahkan dan dihukum, bahkan sempat dikirim ke Nusakambangan pada 2004.
Keputusan Mahkamah Agung tentang cessie itu ternyata berbeda dalam dua kasus lainnya. Dalam sengketa peradilan tata usaha negara (PTUN) tentang pembatalan kontrak cessie Bank Bali, Mahkamah Agung memenangkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Berarti uang Rp 546 miliar itu bukanlah milik Era Giat Prima. Dalam perkara gugatan perdata Era Giat Prima-perusahaan yang juga dimiliki Setya Novanto, waktu itu bendahara Golkar-terhadap Bank Indonesia dan Bank Bali, keputusan kasasi juga menolak uang cessie dibayarkan kepada Era Giat Prima.
Simpang-siurnya keputusan Mahkamah tak akan pernah bisa dikoreksi bila sistem hukum kita tidak mengenal upaya hukum luar biasa yang dikenal dengan "peninjauan kembali". Tanpa upaya terobosan itu, keputusan Mahkamah pada Juni 2001 yang membebaskan Joko Tjandra itu pasti tak dapat diganggu-gugat. Maka, usaha Kejaksaan Agung sebagai wakil negara untuk menyelamatkan uang itu dengan cara mengajukan peninjauan kembali merupakan inovasi hukum yang patut didukung.
Memang, ada tafsir yang mengatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hanya memberikan hak peninjauan kembali kepada terpidana atau keluarganya. Tapi sudah ada preseden ketika Mahkamah Agung menerima peninjauan kembali oleh jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan dan Gandhi Memorial School. Mahkamah Agung agaknya punya pendapat sendiri. Usaha jaksa itu-juga kebijakan Mahkamah Agung menerima permohonan jaksa-tidak perlu dikhawatirkan akan mengurangi kepastian hukum di negeri ini. Sebab sistem hukum kita memang menghendaki banyak terobosan untuk mengontrol keputusan hakim.
Dalam sistem hukum Eropa Kontinental yang kita anut, hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan hukum. Hakim juga menciptakan prinsip-prinsip hukum baru sebagai pegangan untuk hakim yang lain dalam memutuskan perkara. Di tangan hakim yang baik, kewenangan yang luas itu pastilah akan menghasilkan keputusan yang memenuhi rasa keadilan warga negara. Tapi, sudah terlalu banyak contoh yang bisa ditunjukkan betapa banyak keputusan hakim yang janggal, berbau suap, dan tidak memihak keadilan.
Tindakan "tak biasa" dibutuhkan untuk memperbaikinya. Dan itulah yang terlihat dalam kasus cessie Bank Bali ini. Mahkamah Agung, yang kini dipimpin oleh ketua baru Harifin A. Tumpa, mengabulkan peninjauan kembali oleh jaksa. Mahkamah yang dulu pernah membebaskan Joko Tjandra kini berbalik menjatuhkan hukuman dua tahun penjara. Mahkamah juga menghukum Syahril Sabirin, bekas Gubernur Bank Indonesia, dengan hukuman yang sama.
Perjuangan panjang Kejaksaan Agung itu sayangnya "tidak sempurna" akibat Joko Tjandra hengkang ke Papua Nugini sehari sebelum keputusan untuknya dibacakan Mahkamah atau dua hari setelah vonis Syahril Sabirin. Sulit diterima nalar bahwa kejaksaan tidak mengawasi Joko Tjandra setelah mengetahui bahwa Syahril divonis penjara. Dan pasti bukan sebuah kebetulan belaka bila Joko Tjandra minggat ke luar negeri sehari sebelum vonisnya jatuh. Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung perlu memastikan bahwa tidak ada anak buahnya yang terlibat "pembocoran" vonis untuk Joko itu.
Selanjutnya, terobosan hukum diperlukan untuk membawa nama-nama besar dalam kasus ini ke pengadilan. Bila untuk itu kepastian hukum mesti berdiri di belakang keadilan, inilah pilihan yang harus diambil, paling tidak di masa transisi sekarang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo