Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagasan Presiden Joko Widodo soal rekonsiliasi nasional tampaknya terlampau visioner untuk zamannya. Ketika banyak korban dan aktivis hak asasi manusia menuntut penegakan hukum dan penghentian impunitas bagi pelanggar HAM, Presiden justru menyetujui usul Kementerian Pertahanan untuk mengangkat dua pejabat eselon I yang memiliki catatan buruk sebagai penculik aktivis dan mahasiswa pada 1998.
Dua pejabat yang dipersoalkan adalah Brigadir Jenderal Dadang Henda Yudha, yang diangkat sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan; dan Brigadir Jenderal Yulius Selvanus, yang kini menjadi Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan. Keduanya adalah bagian dari Tim Mawar di Grup IV/Sandi Yudha pada Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat. Pada 2007, Mahkamah Militer menilai Dadang dan Yulius terbukti terlibat penculikan aktivis prodemokrasi pada periode 1997-1998 dan menjatuhkan hukuman kurungan masing-masing 16 bulan dan 30 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan riwayat semacam itu, tak ada presiden yang berani menyetujui usul promosi jabatan buat eks tim Mawar di Kementerian Pertahanan, kecuali Jokowi. Persetujuan Presiden untuk pengangkatan Dadang dan Yulius menunjukkan sikap tegas Presiden untuk mengubur dalam-dalam, bukan mengusut tuntas, kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada era Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu. Pemberian jabatan penting di Kementerian Pertahanan kepada dua tentara eks anggota Tim Mawar menegaskan sikap pemerintah bahwa penegakan hak asasi manusia bukanlah program prioritas saat ini. Jadi khalayak ramai tak usah repot-repot menagih janji kampanye Jokowi soal ini. Situasi sudah berubah.
Dengan merestui promosi tersebut, Presiden Joko Widodo mengirim sinyal jelas bahwa pelanggar HAM tak perlu khawatir bakal dihukum berat jika kejahatannya terbukti. Kultur impunitas akan terus dijaga. Sinyal ini konsisten dengan sikap pemerintah pada beberapa insiden sebelumnya. Lihat saja penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam aksi demonstrasi mahasiswa #ReformasiDikorupsi pada September 2019. Meski jelas ada mahasiswa yang tewas tertembak, sampai kini rantai komando pelaku belum diusut tuntas. Temuan Komisi Nasional HAM yang menyebutkan aksi represif aparat keamanan dalam aksi unjuk rasa itu telah melanggar sejumlah hak dasar rakyat juga tak diindahkan sampai sekarang.
Publik sebenarnya tak perlu terlalu terkejut melihat kebijakan pemerintah ini. Kecenderungan itu sudah terbaca ketika Jokowi meminta eks rivalnya dalam dua pemilihan presiden terakhir, Prabowo Subianto, menjadi Menteri Pertahanan. Semua orang tahu, Prabowo adalah Komandan Jenderal Kopassus ketika rangkaian penculikan aktivis terjadi pada 1998. Dia diberhentikan dari dinas militer karena keterlibatannya dalam penculikan mahasiswa dan aktivis. Insiden promosi Tim Mawar ini hanya menegaskan kembali buruknya perspektif HAM di kepala para pejabat kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo