Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan pemerintah memberikan tanda kehormatan Bintang Mahaputera Nararya kepada politikus Fadli Zon dan Fahri Hamzah sungguh sulit diterima akal sehat. Kedua tokoh tersebut tak punya rekam jejak cemerlang yang membuatnya layak menerima anugerah terhormat itu. Marwah dan martabat tanda kehormatan jadi mengalami degradasi.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. memang sudah buru-buru menjelaskan bahwa tanda kehormatan itu diberikan kepada Fadli dan Fahri karena perjuangan dan jasa mereka selama menjabat Wakil Ketua DPR periode 2014-2019. Sayangnya, penjelasan normatif semacam itu tidak tepat dan tak akan bisa memuaskan publik.
Pertama, pemberian anugerah itu melanggar aturan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menegaskan bahwa penghargaan Bintang Mahaputera hanya diberikan kepada mereka yang berjasa luar biasa, memiliki pengabdian dan pengorbanan besar kepada negara, serta diakui darmabaktinya secara nasional ataupun internasional. Undang-undang itu tak mengatur bahwa setiap pejabat negara yang purna-tugas otomatis memperoleh Bintang Mahaputera.
Mahfud bisa berkilah bahwa pemerintah hanya mengacu pada tradisi yang selama ini berlaku. Jika demikian halnya, Presiden Joko Widodo harus tegas menghentikan kebiasaan yang tak masuk akal ini. Penghargaan negara semestinya tak melekat pada jabatan, melainkan diberikan berdasarkan karya dan pengabdian luar biasa.
Kedua, penganugerahan itu tidak pada tempatnya. Selama Fahri Hamzah dan Fadli Zon menjadi pemimpin DPR, kinerja DPR tak kinclong-kinclong amat. Lima tahun dipimpin Fahri dan Fadli, DPR hanya mampu menuntaskan 10 persen dari total target 189 rancangan undang-undang dalam Program Legislasi Nasional. Substansi aturan yang dirancang Senayan pun banyak yang memancing polemik. Demo besar mahasiswa dan aktivis masyarakat sipil pada pengujung tahun lalu dipicu oleh keputusan-keputusan DPR yang mengabaikan aspirasi publik.
Kita belum lupa bahwa Fahri adalah politikus yang pertama-tama mengusulkan pembubaran KPK dalam sebuah rapat konsultasi di DPR, Oktober 2019. Bersama Fadli Zon, Fahri juga kerap bersuara lantang menyokong aksi-aksi intoleran sepanjang 2017-2019. Padahal, unjuk rasa yang mereka dukung itu berpotensi memecah belah persatuan bangsa Indonesia.
Pendeknya, sepak terjang politik keduanya tak bisa dikategorikan sebagai teladan. Faktor itu saja sejatinya sudah cukup untuk menggugurkan penganugerahan Bintang Mahaputera kepada mereka. Sesuai dengan bunyi undang-undangnya, keteladanan merupakan syarat utama pemberian penghargaan itu.
Karena itu, sulit untuk tak menduga ada motif politik di balik pemberian tanda kehormatan ini. Penghargaan ini bisa dibaca sebagai upaya Istana untuk merangkul kelompok yang berseberangan. Hal itu tentu saja tidak boleh terjadi. Lobi politik praktis tak boleh menyalahgunakan perangkat resmi kenegaraan, seperti Bintang Mahaputera. Presiden sudah seharusnya membatalkan rencana penganugerahan yang hanya bikin gaduh ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo