Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETAHUN yang lalu, 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien pertama yang terinfeksi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di negeri ini. Setelah hari itu, seperti juga keadaan di seluruh dunia, keseharian orang Indonesia berubah. Virus corona mengakibatkan pelbagai krisis: ekonomi, demokrasi, hingga kemanusiaan.
Pandemi juga menunjukkan watak asli pemerintahan ini dalam menangani kebutuhan publik yang paling dasar. Pada bulan-bulan awal, alih-alih mencegah pandemi meluas, pemerintahan Joko Widodo memilih menyelamatkan ekonomi. Tak adanya karantina wilayah pada tiga bulan pertama membuat jumlah pasien naik secara eksponensial. Tak hanya terlihat bimbang, pemerintah juga salah jalan menangani pandemi dengan tidak tegas memutus mata rantai penularan.
Tengok saja bagaimana tracing, tracking, dan treatment (3T) tidak memakai unit pemerintahan terkecil untuk membendung virus sejak dari rumah. Bantuan uang tunai untuk menahan masyarakat tak keluar rumah malah dikorupsi oleh menteri yang seharusnya memastikan jaminan sosial selama pandemi. Pemerintah tampak tergopoh-gopoh tak punya strategi.
Compang-camping penanganan pandemi berlanjut dalam distribusi vaksin. Euforia dan selebrasi berlebihan pemerintah menyambut vaksin Sinovac dari Cina rentan menimbulkan rasa aman palsu. Dikhawatirkan publik makin kendur menerapkan protokol kesehatan—padahal ini cara paling ampuh meredam virus.
Dengan keterbatasan suplai vaksin dan belum terangnya hasil uji klinis tahap ketiga, vaksinasi sebenarnya bukan satu-satunya harapan untuk mengakhiri pandemi. Apalagi, dengan kebutuhan 181,5 juta dosis, pemerintah baru bisa mendatangkan 28 juta dosis. Hingga awal Maret 2021, vaksin yang sudah disuntikkan baru 2,7 juta dosis. Artinya, imunitas massal masih jauh dari kenyataan.
Apalagi kini isu vaksinasi di masyarakat bergeser menjadi debat soal ketidakadilan. Pasalnya, pemerintah tidak mendistribusikan vaksin berdasarkan lapis masyarakat yang paling rentan, seperti lansia, mereka yang tak bisa memilih menghindari virus dengan berdiam di rumah, atau mereka yang memiliki penyakit bawaan. Tukang ojek, pedagang kecil di pasar tradisional, sopir truk, pedagang keliling, atau buruh harian lepas adalah jenis-jenis pekerjaan yang pelakunya mesti keluar rumah agar bisa makan. Vaksin buat mereka justru belum jelas kapan sampainya.
Jika dibiarkan, metode distribusi vaksin di Indonesia tak hanya bisa menumbuhkan kecemburuan, tapi juga rawan mengakibatkan ketidakadilan sosial. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menyebut pemerintah yang gagal memenuhi hak paling dasar warga negaranya yang paling lemah sebagai indikasi telah mengalami “kebangkrutan moral”.
Compang-camping setahun terakhir menyimpulkan pemerintah kelabakan pada periode awal penanganan pandemi, dan tak cepat beradaptasi di periode selanjutnya. Pemerintah sepertinya tak kunjung belajar dari kesalahan menangani virus pada masa awal pagebluk ini. Kebimbangan memilih fokus ke pengendalian wabah Covid-19 ataukah penyelamatan ekonomi justru berakibat fatal hingga sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo