Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiko Saputra
Peneliti di Auriga Nusantara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Distribusi dan alokasi tanah yang tidak merata telah memicu masalah ketimpangan di Indonesia. Tanah yang seharusnya menjadi modal ekonomi nasional untuk perwujudan kesejahteraan rakyat sudah terkooptasi oleh kepentingan elite ekonomi. Dalam dua dekade terakhir, kita berada pada jalur "semu" pembangunan yang ditandai oleh pertumbuhan tinggi namun timpang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktanya demikian. Ketimpangan penguasaan tanah sudah "akut". Tak hanya dari distribusinya, tapi juga alokasinya. Kita mesti menjabarkan datanya. Pertama, ketimpangan distribusi penguasaan tanah terlihat jelas di sektor pertanian. Hasil sensus pertanian pada 2013 menunjukkan bahwa 1,5 juta petani kaya (6,16 persen dari total rumah tangga petani di Indonesia) menguasai lahan seluas 8,63 juta hektare atau rata-rata 5,37 hektare per petani. Bandingkan dengan 14,2 juta petani gurem (55,30 persen) yang hanya menguasai 2,67 juta hektare atau rata-rata 0,18 hektare per petani.
Kedua, ketimpangan alokasi penguasaan tanah terjadi di sektor perkebunan sawit. Temuan dari Auriga pada 2018 menunjukkan bahwa 72 persen dari 16,8 juta hektare total luasan tanah yang sudah ditanami sawit dikuasai oleh korporasi. Satu grup usaha bahkan menguasai tanah sekitar 502 ribu hektare, sedangkan petani hanya menguasai rata-rata 2,2 hektare.
Ketiga, alokasi penguasaan tanah di kawasan hutan juga mengalami ketimpangan. Berdasarkan hasil evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018, sebanyak 40,46 juta hektare lahan di kawasan hutan dikuasai oleh usaha besar, sedangkan masyarakat hanya 1,74 juta hektare.
Keempat, meski akses masyarakat terhadap usaha pertambangan sudah dibuka lewat izin pertambangan rakyat, alokasinya tidak signifikan. Hal ini berbeda dengan izin pertambangan untuk perusahaan yang alokasinya luas. Rata-rata penguasaan lahan oleh 32 pemegang kontrak karya adalah 40.753 hektare dan untuk 26 pemegang perjanjian karya pengusahaan batu bara seluas 28.575 hektare, sedangkan 171 izin pertambangan rakyat hanya menguasai rata-rata 3,2 hektare (GNPSDA KPK, 2018).
Tujuh dekade pembangunan pasca-kemerdekaan justru memekarkan praktik penguasaan tanah oleh para tuan tanah. Meski sistem feodal sudah berakhir dengan terkikisnya kekuasaan raja-raja di Nusantara, tanah masih terkooptasi di segelintir masyarakat. Hanya penguasanya yang berubah dari raja ke elite ekonomi.
Tak mudah menata ulang penguasaan tanah di Indonesia karena elite ekonomi yang telah menduduki tanah memegang kekuatan dalam pemerintahan, baik secara langsung memegang posisi strategis di pemerintahan maupun berada di balik layar kekuasaan (shadow government). Reforma agraria, yang menjadi pintu masuk untuk menata ulang ketimpangan penguasaan tanah, hanya menjadi simbol kebijakan "populis" pemerintahan, yang berujung pada bagi-bagi sertifikat tanpa merekonstruksi ulang penguasaan tanah.
Saat ini kita membutuhkan agenda reforma agraria yang lebih ajek. Dimulai dari niat kuat pemerintah untuk mengembalikan arah agenda reforma agraria ke jalur aslinya, yaitu mengubah ketimpangan struktur penguasaan tanah untuk kepentingan petani yang tak bertanah atau tanahnya sempit, buruh tani, dan masyarakat miskin. Jalurnya adalah meredistribusi tanah negara, yakni hak guna usaha (HGU) dan kawasan hutan, kepada mereka.
Khusus tanah yang berstatus HGU, ini harus menjadi prioritas dari tanah obyek reforma agraria. HGU yang akan habis masa berlakunya dan HGU yang ditelantarkan harus segera diredistribusikan kepada petani gurem dan buruh tani. Redistribusinya bisa berbentuk penguasaan kolektif oleh petani untuk pengembangan usaha pertanian komersial.
Terhadap kawasan hutan, tanah yang sudah terlanjur dikuasai oleh petanibukan skala komersialharus dilepaskan dari kawasan hutan dan diberikan legalitas haknya. Mereka bisa memanfaatkan tanah tersebut dengan baik dan memiliki kepastian berusaha.
Dua agenda ini, bila dijalankan dengan baik, akan bisa menurunkan ketimpangan penguasaan tanah. Meski demikian, pelaksanaannya penuh tantangan karena ada syaratnya. Syaratnya adalah datanya harus detail, birokrasinya tidak boleh korup, perlu batas waktu pelaksanaan dan kelembagaannya, organisasi di tingkat petani harus kuat, dan elite politik harus terpisah dari elite ekonomi. Kalau itu tidak ada, apa pun bentuk agenda reforma agraria hanyalah "semu".