Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUNI dua tahun lalu, Indonesia dikategorikan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memerangipraktek-praktek pencucian uang. Dua tahun kemudian,tepatnya pekan silam, Indonesia diperingatkan oleh AmerikaSerikat—melalui Duta Besar Ralph L. Boyce—karena dianggapsangat lamban melaksanakan UU Tindak Pidana PencucianUang (TPPU). Teguran ini kian melengkapi cacat Indonesia,yang sudah masuk daftar hitam negara tidak kooperatif danbahkan sudah dijatuhi sanksi. Namun, berkat lobi, kita masihdiberi kelonggaran sampai Oktober tahun ini. Tapi AS rupanyasudah tidak sabar dan meluncurlah teguran Boyce.
Dibandingkan dengan Cayman Island, negeri initidaklah amat-sangat rawan dalam hal pencucian uang. UU TPPU,misalnya, sudah disahkan pada tahun 2002. Tapi, oleh pihakluar, perangkat hukum itu dinilai masih mengandungkelemahan. Sebut misalnya batasan Rp 500 juta untuk jumlah uangyang bisa dianggap hasil kejahatan, atau tidak adanyaketentuan perlindungan saksi. Karena itu pula FATF mendesakIndonesia—yang kini dicurigai merupakan salah satu surgapencucian uang di dunia—agar mengamendemen UUTPPU. Tuntutan ini dipenuhi, hanya DPR baru akanmenuntaskan revisinya pertengahan bulan depan.
Dalam rutinitas sehari-hari, masalah pencucian uangnyaris tidak bersentuhan dengan kehidupan masyarakat negeriini. Pemahaman tentang praktek cuci uang itu sendiri masihsimpang-siur. Ketika seorang pengusaha pribumi tiba-tibaberani ikut tender Badan Penyehatan Perbankan Nasional,misalnya, bisa saja dia dicurigai terlibat praktek pencucian uang.Contoh lain, ketika seorang tetangga pindah ke sebuah istana nundi kawasan Hartawan Indah Permai, umpamanya,kontan beredar bisik-bisik tentang moneylaundering. Bahkan, ketika seorang sineas muda yang tak jelastrack-record-nya berani membuat film layar lebar, nah, ada saja yangnyeletuk, "Ah, duit haram."
Di kalangan masyarakat awam, masalah moneylaundering memang bisa selesai lewat gosip dan gunjingan. Tapi,pada tingkat lebih tinggi, uang haram mirip ranjau berbahayayang sewaktu-waktu bisa menghancurkan reputasi pejabatatau pengusaha beken. Soalnya, uang yang dicuci bisa berasaldari uang korupsi, uang BLBI yang dilarikan ke luarnegeri—jumlahnya mencapai puluhan miliar dolar—uang jual-belisenjata serta bahan peledak, bahkan juga uang narkoba. Padadataran ini, ketentuan mengenai kerahasiaan bank dankerahasiaan asal-usul uang sangat menghambat usaha menangkalmoney laundering. Kebebasan mentransfer dana bahkanmemudahkan uang haram keluar-masuk Indonesia.
Namun, pada tingkat internasional, blessings indisguise semacam itu tidak bisa ditoleransi. Tekanan Boyceterhadap Indonesia harus dibaca sebagai isyarat bahwa ASkhawatir jangan-jangan uang haram yang masuk kesini—diperkirakan sekitar US$ 12,5 miliar per tahun—digunakan untukmembiayai aksi-aksi terorisme. Indonesia pun tidak bisaberkelit lagi karena selain tragedi bom Bali dan bom Marriott,ada banyak peristiwa ledakan yang disaksikan olehmasyarakat dunia dan dicatat rapi oleh dinas intelijen berbagai negara.
Demi kebaikannya sendiri, Indonesia hendaknya jangan lagi minta kelonggaran kepada FATF. Memang belum tentu teroris yang bergentayangan di sini menggunakan uang haram yang jumlahnya miliaran dolar. Tapi tiadanya bukti konkret tentang itu juga tidak bisa dijadikan dalih untuk bertenang-tenang. Kalau amendemen UU TPPU tidak juga selesai, tekanan internasional bisa muncul dalam berbagai bentuk: minimal didenda, maksimal dikucilkan negara-negara maju. Agar money laundering tidak sampai mencoreng nama baik kita, semua kendala harus ditebas—apakah itu kebebasan transfer uang, peraturan kerahasiaan bank, hak nasabah merahasiakan asal-usul uangnya, bahkan "imunitas" para pejabat. Sekarang tiba saat untuk tidak cuma menghitung kendala dan kesulitannya, tapi hitunglah juga manfaatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo