Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entah apa yang ada di benak Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat ketika dia meminta polisi mengusut dugaan pemalsuan tanda tangan sejumlah advokat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Padahal tahapan sidang uji materi Undang-Undang Kepolisian serta Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlangsung dua pekan lalu itu sudah berjalan jauh.
Mustahil Arief tak paham bahwa polisi dan YLBHI merupakan dua pihak yang bersengketa. Meminta polisi menelisik keaslian tanda tangan para pemohon judicial review itu jelas menyiratkan keberpihakan—sesuatu yang seharusnya jauh dari sikap dan tindakan majelis hakim yang adil.
Aroma tekanan kian kuat tercium ketika polisi bergegas memenuhi permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut dengan mengirim surat panggilan pemeriksaan. Para advokat publik yang mewakili pemohon dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polri juga disatroni di kantornya.
Para hakim Mahkamah Konstitusi seharusnya lebih memperhatikan substansi perkara ini ketimbang mengurusi hal yang tak langsung berkaitan dengan materi pokok. Kehadiran semua pengacara kubu pemohon yang tanda tangannya konon dipalsukan seharusnya sudah cukup menjadi bukti bahwa dugaan pemalsuan itu tak punya implikasi riil. Tak ada pihak yang dirugikan di sini. Walhasil, pengusutan atas dugaan pelanggaran pun kehilangan urgensi.
Materi pokok perkara yang sedang diperdebatkan jelas berimplikasi besar bagi publik. Para pemohon berdalil, jika tak dibebani tugas dan tanggung jawab di bidang penerbitan surat izin mengemudi serta registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor, Kepolisian Republik Indonesia bisa menjalankan tugas utamanya lebih efektif. Tugas utama yang dimaksud sesuai dengan Undang-Undang Kepolisian adalah menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Sudah jamak diketahui bahwa penghasilan Korps Lalu Lintas Polri berupa pendapatan negara bukan pajak dari tugas "sampingan" ini bisa mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Sektor ini juga rawan korupsi. Kita masih ingat betul bagaimana tiga tahun lalu Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil membongkar rasuah bernilai ratusan miliar rupiah yang mengalir ke mantan Komandan Korlantas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Kasus itu benar-benar mencoreng wajah Kepolisian.
Semua itu menegaskan besarnya implikasi perkara tersebut bagi kepentingan publik. Karena itu, wajar jika khalayak menuntut independensi dan integritas majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang mengadili perkara tersebut. Proses peradilan yang tak berpihak dan transparan punya peran besar membuat orang banyak menerima apa pun kelak putusan Mahkamah.
Di sisi lain, Kepolisian sebagai pihak termohon seharusnya bisa menahan diri. Ketimbang mengusut tuduhan pemalsuan tanda tangan advokat pemohon, polisi seharusnya berkonsentrasi mengedepankan teknik beracara yang lazim digunakan di persidangan untuk mementahkan dalil pemohon.
Belum terlambat bagi Mahkamah Konstitusi untuk meluruskan jalannya persidangan perkara ini. Dengan menarik permintaan pengusutan dugaan pemalsuan tanda tangan, Mahkamah bisa menjernihkan situasi dan mengembalikan fokus persidangan ke tempat yang seharusnya: di dalam ruang sidang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo