Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyerangan dan pembakaran Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di Aceh semestinya membuat para pemimpin negeri ini malu. Sebagai penyelenggara negara, lagi-lagi mereka gagal menjaga kerukunan antar-umat beragama. Apalagi keberingasan begini bukan pertama kalinya.
Kerusuhan terjadi pada Selasa pekan lalu. Sekelompok orang mendatangi Gereja HKI Deleng Lagan di Gunung Meriah, Aceh Singkil. Setelah merusak dan membakar gereja tersebut, massa bergerak menuju Gereja Protestan Pakpak Dairi di Danggurun, sekitar sepuluh kilometer dari sana. Namun gereja tersebut telah dijaga aparat. Di tempat itu sempat terjadi bentrokan. Akibat konflik tersebut, satu orang tewas. Sekitar 4.000 warga Singkil melintasi perbatasan, mengungsi mencari perlindungan ke Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Sebenarnya para tokoh agama dan masyarakat di Singkil sudah bertemu membahas masalah rumah ibadah tersebut dan bersepakat. Di antaranya, mereka setuju bersama-sama membongkar sejumlah gereja yang tak memiliki izin, secara damai, mulai 19 Oktober. Sedangkan rumah ibadah yang tak dibongkar harus mengurus izin dalam waktu enam bulan. Sayang, inisiatif baik tersebut dirusak kelompok-kelompok intoleran. Malam sebelumnya, rencana penyerbuan sudah beredar di media sosial, tapi aparat keamanan tak melakukan langkah pencegahan yang memadai.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti, dalam konferensi pers di rumah dinasnya, mengatakan ada indikasi serangan itu memang sudah direncanakan. Kita berharap polisi segera menuntaskan penyelidikan dan membawa para pelaku ke pengadilan. Dengan demikian, semua pelaku dan penduduk lain mengerti bahwa negara tak menoleransi kekerasan.
Apa pun alasannya, menyerang dan membakar rumah ibadah merupakan perbuatan kriminal. Apalagi Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas, dalam Pasal 29, menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Menghalangi-halangi ibadah umat beragama di mana pun dengan demikian merupakan pelanggaran konstitusi.
Upaya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sejak perselisihan muncul dua bulan lalu, yakni mendapatkan izin mendirikan bangunan untuk gereja-gereja di sana, sebaiknya diteruskan. Selama ini, persoalan izin selalu menjadi alasan penyerangan rumah ibadah. Ini terjadi di mana-mana. Kelompok minoritas kerap sulit mendapat izin, tak sanggup memenuhi persyaratan yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Di antaranya harus mendapat persetujuan dari sedikitnya 60 anggota masyarakat di sekitar lokasi pembangunan.
Namun konflik di Singkil—seperti konflik antar-umat di berbagai daerah lain—tidak akan selesai cuma dengan menghukum para pelaku kekerasan dan memberikan izin mendirikan bangunan. Kebanyakan konflik semacam ini hanyalah simtom dari masalah lain dalam masyarakat. Akar persoalan kekerasan inilah yang harus dicari dan dibereskan. Misalnya kecemburuan sosial lantaran minoritas yang sebagian besar pendatang lebih berhasil secara ekonomi.
Agar agama tidak lagi digunakan sebagai alasan untuk melampiaskan ketidaksukaan kepada kelompok lain, pemerintah juga harus berupaya melunakkan radikalisme agama di tengah masyarakat. Caranya antara lain dengan menjauhkan dari tengah masyarakat ajaran yang mengarahkan umat beriman agar membenci penganut agama lain. Siapa pun di negeri ini tak punya hak mengintimidasi, menyerang, apalagi membunuh mereka yang berbeda keyakinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo