Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tergiur Komisi Proyek

9 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBERANTAS korupsi perlu kesabaran dan kegigihan. Simak apa yang terjadi tiga belas tahun setelah reformasi di negeri ini. Korupsi tetap saja merajalela. Masih banyak birokrat dan wakil rakyat yang terkesan tidak jeri mencuri uang rakyat. Sogok dan komisi (kickback) pun jadi biaya yang harus disiapkan para pengusaha tuna-etika yang bisnisnya berkaitan dengan pejabat publik.

Pertengahan bulan lalu, misalnya, Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga tertangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di kantornya. Wafid Muharam disergap tak lama setelah cek senilai Rp 3,2 miliar diserahkan dua pengusaha sebagai ucapan terima kasih karena mereka memenangi tender proyek pembangunan wisma atlet di Jakabaring, Palembang. Selain cek, berbagai mata uang bernilai total sekitar Rp 1,3 miliar disita dari ruang itu.

Belakangan keterangan yang disampaikan salah seorang pengusaha yang ditahan itu, Mindo Rosalina Manulang, membuat publik makin terperangah. Direktur pemasaran yang biasa dipanggil Rosa itu mengaku bukan cuma pejabat Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga yang mendapat uang haram. Suap yang lebih besar, Rp 15 miliar, dikatakannya menjadi bagian sekelompok wakil rakyat di Senayan. Muhammad Nazaruddin, atasannya di PT Anak Negeri dan Bendahara Partai Demokrat, ditudingnya sebagai dalang kegiatan korup ini.

Adapun sebagai penghubung pengadaan proyek bernilai Rp 191 miliar itu, Rosa menyebut dua nama: Angelina Sondakh, politikus Partai Demokrat yang menjabat koordinator anggaran di Komisi Olahraga Dewan Perwakilan Rakyat, dan Wayan Koster, anggota Badan Anggaran DPR yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kedua wakil rakyat ini telah membantah terlibat dalam aksi patgulipat, sedangkan Muhammad Nazaruddin mengeluarkan pernyataan tertulis tak kenal Rosa. Kini menjadi tugas penyidik KPK mencari tahu duduk perkara sebenarnya.

Penyidikan ini konon telah menuai perlawanan. Seorang petinggi KPK bahkan dikabarkan telah menerima ancaman melalui pesan pendek. KPK tak boleh takut, bahkan wajib menjadi semakin trengginas dalam membongkar tuntas kasus ini dengan membawa semua yang didakwa terlibat pidana korupsi ke pengadilan. Soalnya, ini bukan kasus korupsi biasa, melainkan kasus yang punya nilai strategis dalam perjuangan membebaskan Indonesia dari cengkeraman kanker korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Bayangkan, rasuah yang melibatkan aparat birokrasi dan wakil rakyat ini mencuatkan hampir semua jenis korupsi yang tertera dalam buku rujukan. Ada unsur suap, perdagangan pengaruh, perpatronan, nepotisme, gratifikasi (kickback), dan perkoncoan (cronyism). Kolusi antara aparat eksekutif dan legislatif seperti ini amat berbahaya jika tidak ditindak tegas sejak dini, karena memunculkan potensi pelegalan pencurian uang negara, yang bermuara pada penguasaan negara oleh para pencuri (kleptokrasi).

Menangkal gejala kleptokrasi ini jelas bukan hanya tugas KPK, melainkan kewajiban kita semua. Itu sebabnya semua unsur masyarakat harus bangkit, menekan pimpinan negara, partai, dan aparat hukum agar bersatu padu mendukung KPK membersihkan kantor pemerintah dan wakil rakyat dari ulah koruptor. Selain menangkap dan mengadili para pelaku tindak kriminal ini, pemerintah perlu memberi sanksi keras ke perusahaan yang terlibat. Misalnya dengan memuat nama perusahaan itu dan para pejabat tingginya dalam sebuah daftar perusahaan dan perorangan yang tidak diperkenankan mengikuti proyek pemerintah untuk waktu yang cukup panjang.

Pimpinan DPR pun tak boleh berpangku tangan menghadapi hal ini. Mereka sepatutnya tak hanya memecat para wakil rakyat yang jelas-jelas melanggar hukum, tapi juga harus memberikan sanksi kepada yang terbukti melakukan pelanggaran etika. Ini adalah kesempatan emas pimpinan DPR membuktikan bahwa Senayan bukanlah ”sarang penyamun”, melainkan rumah para wakil rakyat yang beretika dan terpujikan integritasnya.

Kesempatan ini mudah-mudahan tak disia-siakan. Terutama oleh pimpinan Partai Demokrat, yang ketua pembinanya terpilih menjadi presiden melalui kampanye membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa, tapi bendaharanya dituding sebagai dalang penyebar bibit kleptokrasi. Ini tantangan bagi majelis kehormatan partai membuktikan komitmen Partai Demokrat kepada rakyat dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Majelis kehormatan ditantang untuk segera membentuk tim investigasi dan melakukan pengadilan etika bagi semua anggota partai yang diduga bersinggungan dengan proyek ini. Majelis harus segera mengambil keputusan yang fair dan mengedepankan rasa keadilan masyarakat. Sebab, mereka yang maju ke gelanggang politik semestinya adalah mereka yang mengabdikan diri untuk publik, untuk republik. Carpe diem.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus