Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH salah satu prestasi bersejarah Amerika Serikat dalam perang melawan teror. Usamah bin Ladin tewas di tangan pasukan khusus Amerika di sebuah perumahan di Abbottabad, 100 kilometer utara Islamabad, ibu kota Pakistan. Di Amerika Serikat, rakyat bersorak-sorai karena pasukan komando negara itu telah membunuh seorang bandit besar yang sepuluh tahun silam diburu di Afganistan dengan kekuatan akbar: beberapa kapal induk, puluhan pesawat siluman (stealth), puluhan helikopter serbu, dan belasan ribu serdadu.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama sendiri memaklumkan tewasnya pemimpin Al-Qaidah yang sangat dicari itu sebagai kemenangan dunia atas terorisme. Untuk kesekian kali ia menegaskan bahwa perang terhadap terorisme, khususnya kepada jaringan Usamah bin Ladin, bukanlah perang terhadap Islam. Obama seperti memahami persepsi warga Amerika yang acap kali berbeda dengan pandangan warga dunia lain.
Dengan kegembiraan meluap-luap dan nasionalisme melambung, orang banyak pun percaya bahwa Amerika yang digdaya telah kembali. Toh, riwayat Usamahsosok yang bertanggung jawab atas serangan terhadap menara kembar World Trade Center pada 2001telah berakhir. Namun dunia luar rupanya tak cukup puas dengan pengumuman tewasnya Usamah. Mereka mulai mempertanyakan kejadian tewasnya Usamah, apalagi setelah koreksi demi koreksi disampaikan Washington: dari tembak-menembak sengit 40 menit menjadi kontak senjata singkat, hingga pengakuan bahwa Usamah tidak bersenjata ketika pasukan Amerika menyerbu tempat tinggalnya.
Di dalam negeri, popularitas Presiden Obama boleh jadi meningkat. Namun ungkapan-ungkapan yang menunjukkan superioritas Amerika tak perlu dikumandangkan lebih keras lagi. Setiap orang tahu, perang melawan teror tak berakhir dengan tewasnya Usamah, dan ini bukan lagi perang Amerika seorang.
Di Indonesia, sebuah organisasi radikal menghadapi kabar kematian ini dengan dukacita; seraya berdoa dan mengenang seorang lelaki berjanggut panjang yang telah meninggalkan kehidupan mewah di Arab Saudi, dan mereka yakini menempuh satu jalan yang "lurus": jihad. Usamah pergi meninggalkan legasi jihad yang maknanya telah berevolusi dan mengundang sejumlah tafsir menurut kebutuhan politik penggunanya.
Analisis intelijen Amerika menyimpulkan, kelompok Usamah memang sedang mempersiapkan serangan besar untuk memperingati satu dasawarsa pengeboman menara kembar WTC. Jika analisis itu benar, kita memang berhadapan dengan kemungkinan yang mencemaskan. Ancaman teror Al-Qaidah tidak hanya terhadap Amerika. Rangkaian pengeboman di Indonesia, sejak bom malam Natal pada 2000 sampai bom di Hotel Marriott dan Ritz-Carlton, jelas menunjukkan negeri kita pun menjadi sasaran serangan teroris.
Serangkaian serangan bom buku di Jakarta, lalu bom bunuh diri di Cirebon, menunjukkan bahwa pelakunya tak harus memiliki ikatan jaringan dengan Al-Qaidah. Inilah generasi teroris baru yang tak memiliki induk. Mereka melakukan teror dengan dasar perjuangan yang sama: ideologi sempit tentang apa yang mereka sebut musuh Islam.
Terorisme adalah musuh dunia, karena ia membenarkan pembunuhan terhadap manusia tidak berdosa. Amerika sesungguhnya harus belajar banyak dari perang melawan terorisme itu sendiri: kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan lain. Karena itu, terorisme harus didekati sampai pemicunya yang utama: ketidakadilan lokal dan global yang menggelorakan frustrasi berkepanjangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo