Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tersengat Listrik Cina

11 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUDUK di pucuk singgasana Perusahaan Listrik Negara, Sofyan Basir jelas tak salah jika ingin ngebut merealisasi megaproyek listrik 35 ribu megawatt. Ditunjuk memimpin perusahaan setrum setahun lalu, tugasnya memang berat: menyehatkan keuangan PLN yang merah, selain menyelamatkan negara dari ancaman byar-pet. Namun, apa pun langkah yang diambilnya, Sofyan hendaknya tak melupakan peribahasa: sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.

Mantan Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia ini perlu diingatkan lantaran sejumlah kebijakannya bisa mengundang kecurigaan. Itu terutama berkaitan dengan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt dengan nilai Rp 1.100 triliun. Pembangkit itu tak hanya berbasis energi fosil, tapi juga energi terbarukan. Lokasinya tersebar di 201 wilayah di seluruh Indonesia.

Diluncurkan di Desa Gadingsari, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Mei tahun lalu oleh Presiden Joko Widodo, proyek 35 ribu megawatt ditargetkan selesai dalam lima tahun. Pasokan listrik sebesar itu ditetapkan dengan memperhitungkan pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional enam persen per tahun dan tambahan kebutuhan listrik 7.000 megawatt setiap tahun. Dengan pembangkit listrik yang kini berkapasitas 50 ribu megawatt, negeri ini bisa kacau jika lima tahun ke depan tak menambah pembangkit.

Sejumlah negara berdatangan ikut tender. Salah satunya Cina. Di sinilah bau tak sedap meruyak. Sofyan disebut mengistimewakan kontraktor dari negeri itu untuk memenangi sejumlah tender. Tiongkok bukan sekali ini ikut dalam proyek pembangkit di Indonesia. Cina juga sudah terlibat proyek 10 ribu megawatt yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Berkonsorsium dengan sejumlah perusahaan nasional, "kelompok Tiongkok", misalnya, unggul dalam perebutan proyek PLTU Jawa 5.

Kemenangan tersebut diduga lantaran aturan tender "mengunci" peserta lain, seperti Mitsubishi, Marubeni, dan Sumitomo—ketiganya perusahaan Jepang. Selain waktu pelaksanaan tender dibuat singkat, pemenang tender disyaratkan menyerahkan garansi (performance bond) sebesar sepuluh persen dari nilai total proyek dalam waktu sebulan.

Persyaratan itu sulit dipenuhi perusahaan Jepang dan perusahaan lokal karena rata-rata butuh waktu empat bulan untuk mendapat pinjaman dana bank. Jumlah uang garansi ini memang tak sedikit. Ambil contoh pengadaan 17 ribu megawatt yang sudah diteken. Dengan nilai proyek US$ 34 miliar, garansi yang mesti disetorkan ke bank BUMN adalah US$ 3,4 miliar atau sekitar Rp 40 triliun. Syarat mencekik ini ditengarai dibuat karena PLN mengetahui perusahaan Cina tak kesulitan memenuhinya.

Keganjilan inilah yang dipertanyakan Kuntoro Mangkusubroto, Komisaris Utama PLN. Desember 2015, Kuntoro berkirim surat ke pimpinan PLN, meminta perusahaan itu mempertimbangkan kembali syarat-syarat yang dianggap merugikan peserta di luar perusahaan Cina. Kuntoro mempersoalkan dasar kebijakan seraya mengingatkan agar Indonesia tidak bergantung pada teknologi listrik satu negara. Ia juga menyebutkan selayaknya PLN tak mengulang kesalahan pada pengadaan 10 ribu megawatt listrik tahap pertama. Saat itu, sejumlah pembangkit dari Cina ditemukan rusak.

Bukan hanya Kuntoro yang bertanya-tanya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga mempersoalkan PLN yang menolak membeli listrik dari pembangkit listrik panas bumi Muara Leboh, Sumatera Barat, dan PLTP Kamojang 1-3 dengan alasan terlalu mahal. Menurut peraturan, PLN berkewajiban membeli listrik tersebut. Jikapun harganya dinilai mahal, semestinya PLN segera melakukan negosiasi ulang, bukan menggantung keputusan.

Agar tak mengundang wasangka, semestinya Sofyan Basir mempertimbangkan banyak hal sebelum membuat kebijakan yang memancing kontroversi itu. Pertimbangan itu, misalnya, tidak sekadar mendapat pembangkit berharga murah, tapi juga berkualitas. Dominasi satu negara memenangi proyek juga berbahaya karena membuat kita akan bergantung pada negeri itu—misalnya dalam pengadaan suku cadang.

Sofyan sebaiknya mengevaluasi kembali keputusan yang dibuatnya itu. Tak ada salahnya ia berbicara dengan sejumlah pemangku kepentingan, misalnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk membahas hal-ihwal yang berkaitan dengan tender atau pengadaan pembangkit. Tanpa perencanaan yang korek dan prosedur pengadaan yang adil, bukan cuma PLN dan Sofyan Basir yang bakal merugi, melainkan seluruh rakyat yang memimpikan Indonesia bebas dari listrik yang byar-pet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus