Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBONGKARNYA komplotan maling bagasi pesawat terbang di Bandar Udara Soekarno-Hatta seperti menampar muka pengelola bandara sekaligus manajemen Lion Air. Pencurian barang milik penumpang yang terus berulang ternyata terjadi di area "steril" bandara yang semestinya aman. Empat anggota komplotan yang sudah tertangkap pun masih pegawai maskapai itu.
Meski telah membantu polisi membekuk kawanan pencuri, maskapai serta pengelola bandara tak bisa lepas dari tanggung jawab utama mereka: memulihkan kerugian material dan kenyamanan penumpang. Hubungan konsumen dengan maskapai, juga pengelola bandara, pada dasarnya bersifat kontraktual. Ada hak dan kewajiban para pihak. Yang melanggar "kontrak" harus siap dituntut secara hukum.
Tanpa tawar-menawar, selama ini maskapai mewajibkan penumpang membayar tiket, membayar kelebihan beban bagasi, dan menanggung akibat keterlambatan check-in. Setelah memenuhi kewajibannya, penumpang seharusnya mendapat pelayanan terbaik serta jaminan atas keselamatan jiwa dan barangnya. Bila tak memenuhi hak penumpang, maskapai layak digugat karena wanprestasi atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Sejumlah konvensi internasional dan peraturan nasional jelas mengatur kewajiban maskapai. Konvensi Internasional Penerbangan Sipil, misalnya, menyatakan maskapai bertanggung jawab melindungi jiwa penumpang dan barang bawaannya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 menyatakan hal serupa.
Tanggung jawab maskapai atas keselamatan penumpang dimulai ketika mereka meninggalkan ruang tunggu, menuju pesawat, sampai memasuki terminal kedatangan di bandara tujuan. Adapun tanggung jawab atas bagasi dimulai saat maskapai menerima barang sewaktu check-in, sampai barang diterima penumpang. Jika bagasi rusak atau hilang, maskapai wajib membayar ganti rugi.
Dari sengketa yang masuk ke pengadilan, hakim pun beberapa kali memenangkan gugatan penumpang. Pada 2014, contohnya, Mahkamah Agung mewajibkan Lion Air membayar ganti rugi Rp 15 juta kepada penumpang yang kehilangan koper berisi peralatan elektronik dalam perjalanan Jakarta-Medan. Gugatan ke pengadilan semestinya menjadi pelajaran bagi maskapai yang lalai. Masalahnya, kebanyakan orang menganggap peradilan di Indonesia jauh dari kriteria cepat dan murah. Akibatnya, hanya sedikit penumpang yang mau capek-capek menggugat maskapai. Padahal, sejak 7 Agustus 2015, Mahkamah Agung telah menerbitkan aturan tentang penyelesaian gugatan sederhana. Persidangan perkara dengan gugatan di bawah Rp 200 juta harus selesai paling lama 25 hari. Sekalian mengetes peraturan ini, penumpang yang dirugikan sebaiknya ramai-ramai menggugat ke pengadilan.
Untuk memperbaiki pelayanan, maskapai tak perlu menunggu digugat. Agar tak terus kebobolan dari dalam, maskapai pun harus memperketat rekrutmen pegawai, prosedur kerja, dan mekanisme pengawasan. Untuk menimbulkan efek jera, sementara itu, petugas yang membobol bagasi pesawat pantas dihukum lebih berat dari pencuri biasa.
Sebagai pengelola bandara, PT Angkasa Pura perlu segera menambah jumlah petugas dan fasilitas pengawas seperti kamera pengintai (CCTV). Rencana Angkasa Pura mengganti jasa porter dengan sistem penanganan bagasi otomatis layak didukung. Dengan mengurangi kontak antara barang dan manusia, plus pengawasan selama 24 jam, kasus pencurian bagasi serta kejahatan lain di bandara barangkali lebih mudah dicegah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo