Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

The dirty harry

Di nicosia, seorang polisi fred rice membaca resitasi syair robert frost. di indonesia polisi melarang salah satu pembacaan syair rendra. polisi perlu menjadi seorang fred rice.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

S~UATU petang di Nicosia, ibu kota Siprus, pada saat ~diselenggarakan konperensi dan seminar internasional ~tentang kepolisian. Waktu datang giliran Fred Rice menyampaikan prasaran, bangkitlah dari duduknya seorang berkulit hitam, bertubuh tinggi besar dengan rambut yang sudah mulai memutih. Rice adalah pensiunan superintendent polisi Chicago. Petang hari itu ia berbicara tentang The Slave Masters of the Modern World. Melihat sosok penampilannya, tidak ada orang yang meragukan bahwa Rice sebagai seorang polisi yang sebenarnya, sebuah karang yang kukuh di tengah ingar-bingar Chicago. Tapi yang membuat saya (dan mungkin juga sebagian yang hadir) terpana adalah saat menjelang akhir uraiannya. Rice membuat resitasi panjang-lebar dan di luar kepala . . . syair Robert Frost, yang kebetulan juga penyair Amerika kesukaan saya. Peristiwa beberapa bulan lalu itu muncul kembali dalam kepala saya saat membaca berita tentang pelarangan baca syair oleh Rendra di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pelarangan itu dilakukan oleh polisi, suatu badan dalam birokrasi yang sangat menarik perhatian saya. Kasus Rice boleh disebut sebagai kejadian yang cukup unik, apalagi buat orang Indonesia, bahwa ada polisi menggemari dan membaca syair. Barangkali kita juga bisa mengatakan bahwa telah terjadi suatu pertemuan antara manusia yang pekerjaannya bergelimang dengan kekerasan serta penggunaan kekuatan dan hatinya yang lembut dan peka terhadap keindahan susastra. Di dalam kepala kita telah terbentuk suatu stereotip sosok polisi sebagai orang yang harus senantiasa waspada dan siap menghadapi bahaya. Itulah rumusan singkat mengenai pekerjaan kepolisian. Karena itu, timbul semacam guncangan dalam hati dan membuat saya merenung-renungkan kejadian di Nicosia tersebut. Bagaimanapun, di kepala saya sudah terbentuk stereotip tentang polisi itu. Untuk mengantisipasi bahaya dan menjaga keamanan, polisi memang harus waspada sepanjang putaran jarum jam. Hal itu tercermin dalam perilaku polisi yang senantiasa, karena pekerjaannya, dituntut menampilkan suatu investigative mind yang kuat. Kalau~ sikap demikian itu harus ditampilkan sepanjang 24 jam, tidak perlu heran perilaku polisi cenderung untuk memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan kecurigaan. Sulit sekali memahami apa yang dilakukan Rice dengan melakukan resitasi syair Robert Frost sebagai tengah melakukan suatu interogasi terhadap suatu karya sastra dan kemudian memastikan apakah syair itu boleh dibaca di hadapan umum atau tidak. Rice tidak melakukan pemeriksaan seperti itu, melainkan menghayati, menikmati, mengagumi Frost, dan hanyut dalam karya sang penyair yang besar tersebut. Sebagai seorang pengamat dan pengagum pekerjaan kepolisian, saya selalu bertanya-tanya, kapan saatnya polisi itu bisa melepaskan diri dari "trauma" pekerjaannya, yang harus mengurusi sekalian keputusan yang diambil di tempat lain. Setiap kali ada peraturan baru, hampir dapat dipastikan polisi yang akan terkena getahnya. Pantaslah kalau polisi saya sebut sebagai The dirty Harry. Urusan lingkungan hidup, komputer, narkotik, dan sekarang rupa-rupanya sudah terasa akan muncul soal pementasan, pada akhirnya akan menumpuk di pundak polisi. Itu berarti polisi harus mahir dalam perkara lingkungan, komputer, dan juga teater atau pementasan. Untuk memahami persoalan lingkungan, niscaya polisi cukup menggunakan akal pikirannya saja. Tetapi tidak demikian halnya apabila sudah memasuki kawasan susastra. Untuk memasuki kawasan seperti itu, barangkali polisi perlu menjadi seorang Fred Rice. Tetapi itu juga belum menyelesaikan masalah secara tuntas. Bagaimana bila orang Indonesia masih belum bisa melihat karya susastra sebagai suatu karya seni dan menerimanya sebagai pernyataan politik? Betul juga kata-kata bahwa masyarakat akan mempunyai polisi-polisinya sendiri yang berkualitas sama dengan masyarakat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus