TUA dan besar - itulah dua kata sifat yang bisa dengan cepat diterapkan buat Muhammadiyah. Gerakan ini didirikan di tahun 1912, lebih dari tiga perempat abad yang lalu. Anggota terdaftarnya saja (di sini termasuk almarhum Bung Karno, presiden pertama) hampir 700 ribu. Anggota yang tak terdaftar dan simpatisannya (mungkin di sini termasuk Pak Harto, presiden kedua) tentu lebih dari itu. Di bawah namanya, Muhammadiyah punya 79 perguruan tinggi, 23 di antaranya berwujud universitas. Di dalam pengelolaannya, tercatat hampir 4.500 sekolah, 19 rumah sakit, dan 123 poliklinik. Belum lagi pondok pesantren, rumah yatim, rumah bersalin, dan lain-lain. "Muhammadiyah," kata seorang simpatisannya, "adalah ibarat sebuah konglomerat." Kata "konglomerat" agak terasa aneh di situ, mungkin karena organisasi yang didirikan di awal abad ke-20 ini belum mengenakan citra lain dari yang sudah dipilih sejak mula. Citra itu memang belum tentu harus berubah: baik bagi orang luar maupun orang dalam, ada sesuatu yang "bergema" dalam gambarannya. Muhammadiyah sering dianggap sebagai "gerakan modernis" Islam di Indonesia. Kata "modernis" sering berasosiasi dengan "pembaru". Pada awal abad ini, gema kata itu meyakinkan. Kini, di tahun 1990, jika orang berbicara tentang Muhammadiyyah, orang pun akan terdiam sebentar dan mulai bertanya: pembaruan apa lagi yang dilakukannya? Modernisasi macam apa lagi yang dibawakannya? Sebuah organisasi yang besar dan tua memang punya wibawa, tapi juga mungkin punya kesulitan untuk bergerak lincah. Ketika perubahan masyarakat berlangsung kian lama kian cepat, kesulitan gerak itu bisa berarti kemandekan, tapi siapa tahu juga bisa berarti kekukuhan yang tak mudah terseret oleh hal-hal yang kebetulan sedang menjadi mode. Muktamar di Yogya pekan ini diduga oleh banyak kalangan akan memperlihatkan berat ke mana Muhammadiyah kelak bergerak. Sebab itulah, Muktamar ini kami anggap penting, dan kami laporkan dengan sorotan yang cukup. Apalagi mau tak mau ia akan menyangkut soal yang lebih dasar: bagaimana gagasan pembaruan pandangan Islam ala Muhammadiyah nanti mendapat bentuknya di Indonesia. Masalahnya cukup menarik dan sangat layak ditelaah. Muhammadiyah, bagaimanapun, membawakan semangat yang paradoksal -- dan agaknya di situlah letak kekuatannya, juga mungkin kepelikan posisinya. Di satu pihak, ia merupakan gerakan "pemurnian" Islam, dengan seruan kembali ke Quran dan Hadis. Di pihak lain, ia merupakan gerakan "pembebasan", dalam arti pembebasan dari taklid, dengan mengembalikan tanggung jawab seorang muslim kepada dirinya sendiri, tanpa berlindung di bawah wibawa orang lain. Tanpa pemurnian, tak akan mudah pembebasan, dan tanpa pembebasan dari taklid, tak akan mudah pemurnian. Namun, bagaimanapun, aksentuasi kepada "pemurnian ajaran" bisa membawa tendensi untuk mengabaikan konteks waktu dan tempat. Pada saatnya, semangat pembebasan yang secara kreatif menjawab tantangan perubahan sejarah -- akan terhambat oleh semangat pemurnian. Perdebatan dalam Muktamar tentulah tidak persis mengikuti tema itu. Apalagi Muhammadiyah sejak awal lebih berciri praktis ketimbang filosofis: yang pokok ialah bagaimana mengelola sekolah, rumah yatim, rumah sakit, secara lebih baik. Laporan kami juga mengikuti hal itu. Goenawan Mohamad~~~
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini