Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tim Pemburu Koruptor Dadakan

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. berencana mengaktifkan kembali Tim Pemburu Koruptor.

16 Juli 2020 | 07.30 WIB

Tim Pemburu Koruptor Dadakan
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum pada Indonesia Corruption Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. berencana mengaktifkan kembali Tim Pemburu Koruptor. Ide ini muncul setelah masyarakat dihebohkan dengan kehadiran Joko Tjandra, buron kasus korupsi cessie Bank Bali, yang mendaftarkan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Semangat dari Menteri ini tidak berbanding lurus dengan realitas kinerja penegak hukum. Untuk itu, pembentukan tim tersebut layak ditinjau ulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pada dasarnya ide untuk membentuk Tim Pemburu Koruptor bukan pertama ini dibicarakan. Pada zaman kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tim ini juga pernah dibentuk pada 2004. Saat itu pembentukan tim digagas oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan dasar hukum Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Alasan yang digunakan serupa dengan saat ini, yakni maraknya pelaku korupsi yang melarikan diri dari jerat hukum. Namun, kinerja tim ini masih jauh dari harapan, praktis dalam rentang waktu lima tahun tim ini hanya berhasil menangkap satu orang buron kelas kakap, yakni David Nusa Wijaya, tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pada awal 2006. Evaluasi atas kinerja tim ini tidak pernah dipublikasikan oleh pemerintah sehingga wajar jika masyarakat ragu akan niat dari Menteri Hukum untuk kembali mengaktifkan tim tersebut.

Dalam hal ini terlihat sekali bahwa pemerintah gagal untuk menempatkan persoalan utama sebelum tiba pada kesimpulan membentuk Tim Pemburu Koruptor. Hal yang mendasari sengkarut pencarian buron sebenarnya terletak pada penegak hukum itu sendiri. Ambil contoh pada pencarian Harun Masiku. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampak enggan untuk mencari tersangka penyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum itu, padahal Harun sudah terang benderang berada dalam yurisdiksi hukum Indonesia. Kejaksaan pun kehilangan taji saat buron kasus korupsi Bank Bali, Joko Tjandra, dapat lalu-lalang untuk membuat kartu tanda penduduk dan mendaftarkan permohonan peninjauan kembali kasusnya di pengadilan.

Selain itu, pola koordinasi antar-lembaga negara terkait dengan pencarian buron juga harus diperhatikan secara serius, terutama pada bagian keimigrasian. Sepanjang tahun ini, pemberitaan penegakan hukum selalu diwarnai dengan kebobrokan sistem imigrasi. Penting untuk ditegaskan bahwa salah satu fungsi keimigrasian, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Keimigrasian, adalah penegakan hukum. Namun, dalam perkara Harun Masiku dan Joko Tjandra, kelembagaan imigrasi malah menjadi hambatan atau penghalang penegak hukum ketika ingin menangkap para buron.

Pemerintah semestinya memahami bahwa masalah yang kerap dikeluhkan penegak hukum dalam menangkap buron kasus korupsi adalah minimnya perjanjian hukum timbal balik (MLA) dan perjanjian ekstradisi antar-negara. Untuk MLA, Indonesia baru menjalin kerja sama dengan 10 negara. Proses MLA ini juga tidak bisa dipandang akan selesai hanya dengan mengandalkan kesepakatan antar-negara, tapi juga mesti melewati proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi undang-undang. Perjanjian ekstradisi pun serupa. Indonesia baru menjalin kerja sama dengan delapan negara. Sudah barang tentu ini akan menyulitkan dan mempersempit gerak penegak hukum.

Meski demikian, pemerintah dan penegak hukum seharusnya juga dapat memanfaatkan celah untuk tetap memaksimalkan pencarian dan penangkapan buron. Cara yang dapat ditempuh adalah melalui langkah diplomasi dan menjaga hubungan baik dengan penegak hukum negara lain. Ambil contoh pada proses penangkapan Maria Pauline Lumowa, tersangka pembobolan Bank BNI, di Serbia. Pemerintah nyatanya tetap bisa meminta Maria diekstradisi meskipun Indonesia tidak memiliki MLA ataupun perjanjian ekstradisi dengan Serbia.

Penegak hukum pun juga harus aktif menjalin hubungan baik dengan otoritas keamanan negara lain. Hal ini pernah terbukti berhasil saat KPK menggandeng Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat (FBI) dalam pengusutan kasus korupsi KTP elektronik. Saat itu FBI berperan untuk mengumpulkan dan mencari bukti, khususnya yang terkait dengan aset milik Johannes Marliem. Potret baik seperti ini mesti ditiru oleh kepolisian dan kejaksaan agar mereka tidak hanya bergantung pada alasan klasik formal perihal MLA dan perjanjian ekstradisi.

Dalam momentum seperti saat ini, kita perlu mengingatkan kembali pemerintah dan DPR untuk mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Rancangan ini akan menjadi terobosan hukum sekaligus jawaban konkret atas sengkarut masalah buron kasus korupsi. Legislasi ini nantinya akan berfokus pada aset pelaku kejahatan yang dapat dijadikan obyek dalam persidangan sehingga tidak lagi bergantung pada kehadiran terdakwa dalam persidangan. Selain itu, rancangan ini mengadopsi model pembalikan beban pembuktian sehingga proses perampasan aset hasil kejahatan dapat lebih mudah dilakukan.

Harus diakui bahwa praktik penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Untuk itu, daripada membentuk Tim Pemburu Koruptor yang berujung pada pemborosan anggaran, lebih baik pemerintah mengevaluasi kinerja Kementerian Hukum, kepolisian, kejaksaan, dan KPK.

Kurnia Ramadhana

Peneliti Indonesia Corruption Watch

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus