Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Indonesia kemarin memutuskan menahan suku bunga acuan di level 5,75 persen. Keputusan BI ini masuk akal, meskipun ada kekhawatiran suku bunga Federal Reserve (The Fed) yang sudah mencapai 5,50 persen pada Juli lalu akan berpengaruh buruk terhadap pasar keuangan dalam negeri jika BI tidak ikut menaikkan suku bunga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tugas bank sentral sejak amendemen Undang-Undang BI yang terakhir tidak lagi hanya menjaga inflasi, tapi juga pertumbuhan. Karena itu, kebijakan moneter, dalam hal ini suku bunga, merupakan instrumen yang tepat. Dengan kebijakan suku bunga yang tepat, BI bisa mengendalikan inflasi sekaligus menjaga perekonomian tetap tumbuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juli lalu, inflasi Indonesia sebesar 3,08 persen (year-on-year). Angka ini termasuk bagus dibanding banyak negara lain. Inflasi Amerika Serikat pada periode yang sama, misalnya, mencapai 3,2 persen. BI berharap, dengan menahan suku bunga acuan, inflasi Indonesia akan terjaga pada kisaran yang telah ditentukan, yakni 3,0+1 persen.
Suku bunga yang tetap juga diharapkan memberikan insentif bagi perekonomian yang sejauh ini cukup baik. Hingga Juni lalu, sudah tujuh kuartal berturut-turut ekonomi RI tumbuh di atas 5 persen. Ini lebih baik dari Cina yang merosot akibat menurunkan konsumsi dan kinerja properti, serta dari negara-negara Eropa yang belum terlepas dari dampak perang Rusia dan Ukraina. Tren pertumbuhan tersebut diharapkan bertahan hingga akhir tahun.
Tentu saja akan ada dampak. Tapi, seperti banyak negara berkembang lainnya, BI memang selalu menghadapi trilema dan hanya bisa memilih dua di antara tiga pilihan: mengatur moneter, menjaga lalu lintas devisa bebas, dan menjaga kurs rupiah. Lantaran mesti menjaga suku bunga—sementara devisa bebas tak bisa ditawar—BI mau tidak mau melepaskan kurs rupiah bergerak seturut kehendak pasar. Akibatnya sudah mulai terlihat dalam satu bulan terakhir sejak The Fed menaikkan suku bunganya. Kurs rupiah merosot hingga melebihi 15.300 per dolar AS dan diperkirakan makin tertekan karena derasnya aliran modal asing yang keluar.
Di sisi lain, berkurangnya aliran masuk dolar karena surplus perdagangan mengecil semakin menekan rupiah. Sejak akhir kuartal II lalu, neraca transaksi berjalan RI sudah kembali negatif, dengan defisit sekitar US$ 1,9 miliar—defisit pertama setelah tujuh kuartal berturut-turut mengalami surplus.
Meski demikian, situasi ini tidak terelakkan. BI mungkin perlu mengambil langkah untuk menyelamatkan nilai rupiah jika nanti jatuh terlalu jauh. Sementara itu, kondisi ekonomi yang saat ini cukup baik diharapkan bakal mampu meredam gejolak akibat kebijakan The Fed. Lagi pula, dinamika politik menjelang pemilihan umum biasanya "mengalirkan" dolar ke dalam negeri untuk biaya kampanye.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo