Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Delegasi Indonesia di COP29 Azerbaijan dipimpin Hashim Djojohadikusumo, pengusaha dan adik Presiden Prabowo Subianto.
Penunjukan itu merupakan konflik kepentingan sebagai pengusaha dan keluarga penguasa.
Alih-alih mencegah pemanasan global, Hashim mendagangkan proyek hijau untuk mendapatkan pendanaan dan hibah.
BARU kali ini delegasi Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa dipimpin pengusaha. Bukan sembarangan pengusaha, ketua delegasi Indonesia dalam Conference of the Parties (COP) Ke-29 di Baku, Azerbaijan, tak lain adalah Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagaimana COP yang lalu-lalu, dalam konferensi pada 11-22 November 2024 ini, delegasi 197 negara akan berunding mencari cara mencegah krisis iklim, yang ditandai oleh kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celsius dibanding masa praindustri 1870. Untuk mencegah pemanasan bumi itu, semua negara harus menurunkan 45 persen produksi emisi global yang kini sebanyak 53 miliar ton setara CO2 setahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam COP29 kali ini, pemerintah Indonesia mengajukan proposal penurunan emisi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional. Target ini tak berubah dibanding proposal dalam COP27 di Mesir dua tahun lalu. Rasio itu memakai basis produksi emisi 2010 yang diperkirakan sebanyak 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030.
Target penurunan emisi agaknya bukan hal utama yang dibawa Indonesia. Biasanya, secara progresif, pemerintah menaikkan target penurunan emisi tiap COP. Target dalam COP kali ini merupakan kenaikan dari target semula sebesar 26 persen pada COP 2016. Sebab, yang dibawa Hashim ke Baku adalah proyek-proyek hijau untuk menggaet hibah serta pendanaan negara kaya dan lembaga internasional.
Dari pidato Hashim dalam pembukaan Paviliun Indonesia, ia menyebutkan pelbagai proyek transisi energi, penangkapan emisi, hingga potensi hutan Indonesia di pasar karbon dunia. Seperti seorang pedagang, Hashim menyebutkan program-program mitigasi krisis iklim itu sebagai komoditas yang akan mendatang uang banyak.
Hashim, misalnya, menyebutkan potensi teknologi gudang penangkapan karbon (carbon capture storage) mencapai 500 juta ton. Adapun stok karbon yang tersimpan di hutan-hutan Indonesia sebanyak 577 juta ton. Belum lagi proyek pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 100 miliar watt.
Semua yang disebutkan Hashim adalah potensi ekonomi perdagangan karbon. Padahal studi-studi ilmiah sudah menunjukkan skema perdagangan karbon hanya menurunkan emisi dalam jumlah sedikit. Cara ini bahkan hanya membuka jalan pada pencucian hijau (greenwashing): negara kaya dan industri tetap memproduksi emisi dan merasa terbebas dari dosa lingkungan dengan membeli jasa penyerapan karbon di negara berkembang seperti Indonesia.
Dengan kata lain, perspektif Hashim adalah berjualan krisis iklim melalui skema dagang karbon yang melenceng dari tujuan dan skema mitigasi krisis iklim. Alih-alih menyodorkan program-program utama mitigasi melalui penurunan deforestasi, transisi energi, hingga program-program ramah lingkungan yang menurunkan emisi, ia mempromosikan Indonesia sebagai negara suaka greenwashing.
Tak mengherankan jika Hashim tak menyinggung food estate yang memicu deforestasi karena membuka kawasan hutan. Ia juga tak menyinggung penghiliran yang mendorong penggundulan hutan lewat industri ekstraktif dan pertambangan. Jika cara pandang ini diteruskan, kredibilitas mitigasi iklim Indonesia akan anjlok di mata dunia. Indonesia akan dipandang sebagai negara mata duitan berkedok proyek hijau.
Sebab, perdagangan adalah bonus mitigasi. Ia bukan program utama mencegah krisis iklim. Jika berdagang krisis iklim lebih mengemuka dibanding mencegah deforestasi atau transisi energi, kita tak bakal leluasa bernegosiasi mendapatkan pendanaan hijau dan harga karbon yang sesuai dengan karakter ekosistem tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Lebih jauh dari itu, keberadaan Hashim sebagai adik presiden merupakan konflik kepentingan akut. Hashim adalah pengusaha kehutanan dan energi. Bisa jadi proyek-proyek yang ia sebut dalam pidatonya termasuk proyek perusahaannya sendiri untuk mendapatkan pendanaan besar.
Selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, perdagangan karbon ditangguhkan karena pemerintah berhati-hati dalam mengantisipasi kebocoran dan mencegah greenwashing. Kehati-hatian itu akan jebol di tangan Menteri Lingkungan Hidup yang tak akan bisa menolak titah Hashim untuk segera memberlakukan pintu perdagangan karbon Indonesia.
Walhasil, alih-alih membanggakan, Hashim membawa Indonesia terlihat sebagai negara egoistis dalam upaya bersama mencegah krisis iklim di forum internasional. Pidato Hashim itu kian meneguhkan kecemasan banyak pihak bahwa COP hanyalah forum kongko dan dagang krisis ketimbang upaya serius mencegahnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo