Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana pemerintah menggunakan minyak jelantah sebagai bahan baku SAF merupakan keputusan tepat.
Dalam skenario terbaik, SAF dari minyak sawit mentah memiliki intensitas karbon tepat di bawah ambang batas CORSIA.
Dalam standar internasional, minyak mentah untuk kebutuhan pangan dilarang digunakan sebagai bahan baku produksi SAF.
MINYAK jelantah merupakan bahan baku limbah rendah karbon yang layak diolah menjadi bahan bakar. Dengan menggunakan teknologi pengolahan yang ada, minyak jelantah bahkan dapat diolah kembali menjadi campuran bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau sustainable aviation fuel (SAF). Penggunaan minyak jelantah untuk produksi avtur ramah lingkungan akan sangat penting untuk mendekarbonisasi sektor penerbangan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pemerintah menggunakan minyak jelantah sebagai bahan baku SAF merupakan keputusan tepat. Sebab, bahan limbah ini terdaftar sebagai bahan yang memiliki emisi karbon rendah menurut standar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minyak jelantah dapat diolah menjadi hydroprocessed esters and fatty acids (HEFA), yang saat ini merupakan satu-satunya jalur produksi bahan bakar penerbangan berkelanjutan komersial. Karena itu, HEFA dari minyak jelantah akan memegang peran penting dalam pengembangan industri SAF dalam negeri untuk jangka pendek dan menengah.
Dalam Bali International Air Show 2024 yang diselenggarakan pada pertengahan September lalu, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi meluncurkan peta jalan industri serta rencana aksi kebijakan SAF. Sebagai anggota ICAO, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon sektor penerbangan menggunakan skema Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA).
Skema CORSIA mencakup informasi tentang aspek keberlanjutan SAF dan penghematan emisi gas rumah kaca. Pada 2021, Indonesia menyerahkan rencana aksi negara kepada ICAO, yang di dalamnya terdapat target dekarbonisasi penerbangan di Tanah Air sebesar 13 persen, dibanding skema business as usual pada 2030.
Proposal peta jalan SAF 2024 berfokus pada bagaimana Indonesia dapat menggunakan bahan baku dan jalur produksi yang beragam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar penerbangan berkelanjutannya. Namun tidak semua avtur ramah lingkungan yang diproduksi memiliki status emisi sama, terutama karena jalur produksi SAF yang berbeda-beda memiliki potensi mitigasi iklim yang berbeda pula.
Dalam Bali International Air Show 2024 juga diadakan dialog selama dua hari. Namun dialog itu didominasi tema yang berkaitan dengan “diplomasi sawit” ke ICAO. Minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) memang termasuk daftar bahan baku di CORSIA. Namun produk ini kurang diutamakan dibanding jenis bahan baku SAF lain, seperti bahan baku limbah.
Dalam skenario terbaik, SAF dari minyak sawit mentah memiliki intensitas karbon tepat di bawah ambang batas CORSIA dan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 10 persen dibanding emisi dasar dari bahan bakar penerbangan fosil.
Meski begitu, industri harus berhati-hati dalam menggunakan CPO untuk memproduksi SAF. Apalagi dalam target dekarbonisasi regional dan nasional di seluruh dunia—seperti target SAF ReFuelEU—CPO dan minyak mentah untuk kebutuhan pangan dilarang digunakan sebagai bahan baku produksi SAF.
Di sisi lain, SAF yang diproduksi dari minyak jelantah dianggap memiliki daur siklus hidup dengan emisi gas rumah kaca yang sangat rendah dibanding avtur dari fosil di bawah skema CORSIA. HEFA dari minyak jelantah juga memenuhi syarat sesuai dengan target SAF ReFuelEU.
Di Amerika Serikat, HEFA dari minyak jelantah dianggap memenuhi syarat kredit Renewable Identification Number (RIN)—kredit yang dihasilkan dari produksi bahan bakar terbarukan—dalam standar bahan bakar terbarukan (RFS). HEFA juga memenuhi kredit kebijakan bahan bakar tingkat negara bagian, seperti yang diberlakukan di California.
Sebagian besar negara di dunia setuju mendukung HEFA dari minyak jelantah dengan insentif yang cukup tinggi karena jalur produksinya menawarkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang cukup signifikan. Dengan demikian, HEFA dari minyak jelantah menjadi bahan bakar penerbangan berkelanjutan yang menarik bagi maskapai penerbangan di Uni Eropa dan Amerika.
SAF merupakan bahan bakar siap pakai yang aman untuk menggantikan bahan bakar avtur dari fosil. Produk ini juga sepenuhnya mematuhi standar bahan bakar penerbangan dan disertifikasi berdasarkan spesifikasi ASTM D7566. Di Asia, Vietnam Airlines pertama kali menggunakan Neste MY Sustainable Aviation Fuel untuk penerbangan dari Singapura ke Hanoi pada 27 Mei 2024. Salah satu bahan baku SAF Neste adalah minyak jelantah.
Korean Air juga baru-baru ini mencampur 1 persen SAF untuk penerbangan dari Seoul ke Tokyo. SAF yang digunakan untuk rute ini dipasok oleh S-Oil dan SK Energy, yang keduanya menggunakan minyak jelantah sebagai bahan baku. Produk SAF kedua perusahaan disertifikasi oleh CORSIA dan dipastikan memenuhi standar keberlanjutan internasional.
Dalam peta jalan bahan bakar penerbangan berkelanjutan, pemerintah Indonesia berencana mencampurkan 1 persen SAF pada 2027. Dalam target itu, salah satu bahan baku yang tercantum untuk memenuhi target ini adalah minyak jelantah. Sebuah studi dari The International Council on Clean Transportation memperkirakan 715 ribu ton minyak jelantah dapat dikumpulkan di Indonesia dari sektor rumah tangga perkotaan, restoran, dan industri pengolahan makanan. Namun saat ini jumlah minyak jelantah yang dikumpulkan masih kurang dari 40 persen.
Untuk memenuhi target penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan, Indonesia harus meningkatkan inisiatif pengumpulan minyak jelantah di dalam negeri. Upaya ini juga sekaligus membuka peluang mengekspor SAF berbiaya rendah dengan penghematan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Indonesia dapat mengumpulkan lebih banyak minyak jelantah dibanding negara-negara tetangga lain di Asia Tenggara.
Dalam dokumen evaluasi bahan baku dan jalur produksi yang berpotensi mendukung pencapaian target SAF 2060, pemerintah Indonesia memiliki kesempatan besar mendukung jalur produksi HEFA dari minyak jelantah. HEFA dari minyak jelantah akan menjadi SAF bernilai tinggi dan rendah emisi gas rumah kaca yang menarik bagi industri penerbangan global.
Sebaliknya, SAF yang diproduksi dari minyak untuk bahan makanan, seperti CPO, kurang diminati di pasar SAF global. Minyak sawit mentah tidak memenuhi syarat atau tak dianggap rendah emisi berdasarkan CORSIA dan tidak memenuhi syarat dalam kebijakan mandat SAF Uni Eropa. Hal ini akan membatasi minat maskapai penerbangan internasional untuk menggunakan SAF berbasis minyak sawit mentah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.