Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Utang Luar Negeri dan CGI

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dradjad H. Wibowo Ekonom Senior Indef

MENJELANG sidang Consultative Group on Indonesia (CGI)?tahun ini berlangsung pada 21-22 Januari di Bali?kontroversi tentang utang luar negeri pun mencuat kembali. Pertanyaan krusialnya adalah sudah optimalkah manajemen utang luar negeri Indonesia. Optimal di sini tidak hanya dari segi fiskal, tapi juga dari sisi pembangunan dan keadilan sosial.

Secara teoretis, ekonomi makro klasik mengenal konsep yang disebut Ricardian Equivalence (RE). Premis dasarnya, utang pemerintah bersifat netral, tidak punya efek terhadap suku bunga, investasi, perdagangan, inflasi, dan produk domestik bruto (PDB). Konsekuensinya, tidak terdapat efek redistribusi pendapatan. Maka dari sini muncul pemeo "there is no burden of the national debt."

Dalam konteks utang luar negeri (LN), teori ini berpandangan, kalau pembangunan tidak dibiayai dengan utang LN, sumber dana diambil dari dalam negeri. Artinya, masyarakat harus membayar pajak yang lebih tinggi, sehingga pendapatan disposabel merosot. Akibatnya, konsumsi domestik berkurang. Karena konsumsi menyumbang 50-70 persen pertumbuhan, pertumbuhan pun terhambat.

Kedua argumen di atas melahirkan manajemen utang klasik ala IMF dan Bank Dunia. Pada intinya, argumen itu berbunyi bahwa negara dengan utang tinggi harus menambah utang lagi sehingga ekonominya tumbuh. Pada gilirannya, debt ratio (rasio utang terhadap PDB) diharapkan turun, dan utang menjadi manageable.

Secara teori, argumen di atas dibantah analisis "there is a burden of the national debt." Maksudnya, utang pemerintah mencerminkan pengeluaran yang dibiayai defisit anggaran, sehingga konsumsi domestik naik berlebihan. Ketika konsumsi domestik melebihi tingkat lestari, suku bunga dan inflasi jangka panjang naik. Selain itu, investasi menurun, defisit perdagangan meningkat, dan potensi PDB jadi lebih rendah. Tapi, karena good governance tak berjalan, sedangkan kreditor, terutama Bank Dunia, gagal menerapkan prinsip prudensial, tingkat kebocoran pun tinggi. Akibatnya, untuk negara miskin seperti Indonesia, RE cenderung tidak cocok.

Kalau diringkas, manajemen utang LN pemerintah selama ini difokuskan pada penjadwalan ulang melalui Paris Club dan penambahan utang baru melalui CGI. Tolok ukur yang dipakai pun klasik, yaitu debt ratio. Intinya, jika debt ratio terlalu tinggi, utang lama dijadwal ulang. Tapi, untuk menutup defisit fiskal, dibuat utang baru lewat forum CGI. Prakondisinya, stabilitas makro harus dijamin.

Gaya manajemen ini diklaim oleh Menteri Keuangan, IMF, dan Bank Dunia berhasil menurunkan debt ratio menjadi 71 persen. Jadi, klaim mereka, utang pemerintah lebih sustainable, sehingga manajemen utang pemerintah sudah benar. Bahasa teorinya, sudah optimal dan memenuhi RE.

Dalam pandangan saya, klaim di atas sangat tidak sahih karena beberapa alasan. Pertama, bukan manajemen utang yang berperan menurunkan debt ratio, melainkan apresiasi rupiah terhadap dolar AS. Ini adalah resultan dari stabilitas politik dan depresiasi dolar AS terhadap mata uang lain selama tahun 2002.

Kedua, "prestasi" itu dicapai dengan biaya sosial yang tinggi. Anggaran untuk sektor sosial (pendidikan dan kesehatan), strategik (pertahanan-keamanan), dan produksi riil (pertanian, kehutanan, dan sebagainya) menjadi korban. Ini karena pembayaran pokok dan bunga utang mencapai hampir dua kali lipat anggaran pembangunan dan memakan hampir separuh penerimaan pajak. Untuk 2003, 42 persen pajak habis hanya buat membayar pokok dan bunga.

"Prestasi" di atas juga dicapai dengan mengobral saham BUMN dan aset BPPN, yang sangat merusak future earnings Indonesia dan mengganggu kepentingan strategik. Selain itu, pengurangan subsidi dilakukan besar-besaran, dengan risiko merusak modal utama berupa stabilitas politik.

Ketiga, pola penjadwalan ulangnya pun tidak terlalu bagus. Pemerintah dan Bank Dunia mengklaim, Indonesia memperoleh terms yang semakin baik dalam Paris Club (PC) 3 dibanding PC 1. Masa jatuh tempo naik dari 11 ke 18 tahun untuk utang non-ODA (overseas development assistance). Masa tenggang (grace period) naik dari 5 ke 10 tahun untuk ODA dan ada penjadwalan ulang atas bunga.

Namun, berdasarkan laporan European Network on Debt and Development (Eurodad), terms yang diperoleh Indonesia lebih jelek dari negara lain. Indonesia hanya diberi Houston Term. Padahal, kalau memperoleh Naples Term, Indonesia bisa meminta pengampunan hingga 67 persen dari total utang non-ODA. Sedangkan untuk utang ODA, bahkan bisa diberikan masa tenggang 16 tahun, dengan tingkat bunga yang didiskon selama 40 tahun.

Sebagai bandingan, Pakistan memperoleh pemotongan 30 persen dari net present value (NPV) utang ODA dan non-ODA. Sisa utang ODA dijadwal ulang 38 tahun, dengan masa tenggang 15 tahun. Yugoslavia memperoleh potongan 66,7 persen dari NPV utangnya, sementara Polandia mendapat pengurangan 50 persen dari total utang.

Agar manajemen utang optimal, Indonesia perlu memperjuangkan term seperti Polandia dan Yugoslavia. Jadi, bukan dengan Paris Club dan CGI seperti saat ini. Lebih penting, orientasi manajemen utang harus lebih luas dari sekadar asset and liability management. Debt sustainability perlu dikaitkan dengan pembangunan dan keadilan sosial. Indikatornya tak lagi cuma debt ratio, tapi ditambah rasio debt service terhadap pajak dan anggaran pembangunan.

Kombinasi strateginya banyak, tapi minimal mencakup pengurangan utang LN melalui pola mirip Brady Bonds, penjadwalan dengan Naples Term, integrasi manajemen utang luar dan dalam negeri, hingga memungkinkan project financing swap, dan berbagai rekayasa keuangan lain.

Di samping itu, perlu pembatasan terhadap nilai maksimum debt service sebagai rasio terhadap pajak melalui UU Keuangan Negara. Di sini, pembangunan umum lebih diprioritaskan dari pembayaran utang. Jadi, dana APBN dipakai dulu untuk pembangunan, baru sisanya untuk bayar utang. Tidak sebaliknya, seperti yang dilakukan saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus