IBU itu punya 4 orang anak, dua komunis, seorang netral, dan seorang lagi bergabung dengan gerilya menentang komunis. Seandainya mereka hidup di Uni Soviet di zaman Stalin (di mana, menurut paham Stalinis, orang ikut bersalah karena sanak saudaranya pernah bersalah), mereka harus disingkirkan. Tapi, kata ibu itu, "Di rumah saya ada kemerdekaan pikiran." Dan di tanah airnya, Nikaragua, ada perbedaan cita-cita dan tujuan. Ideologi dan kepentingan membelah negeri kecil yang sedih tapi berani itu dalam pelbagai kubu. Bukannya tak ada ketegangan. Tapi apa mau dikata? Bagi ibu berusia 61 tahun itu, Violeta Barrios de Chamorro -- presiden Nikaragua sekarang -- keadaannya tidak unik. Begitu banyak keluarga terbagi, seperti dikatakannya, di negerinya. Nama keluarga Chamorro di Nikaragua bukan cuma terkenal karena memiliki koran La Prensa. Sejak 1930-an, nama itu, juga koran itu, adalah bagian dari sejarah. Pada 1952 Pedro Joaquin Chamorro Cardenal menggantikan ayahnya, memimpin La Prensa. Seperti sang ayah, ia menentang kekuasaan anak beranak Somoza, yang berkuasa sejak 1937. Pedro tak cuma mengerahkan kata. Ia menggerakkan orang & bedil. Ketika ia dibuang ke San Carlos yang jauh, ia lari naik perahu ke Costa Rica. Dari sini ia memimpin pasukan terjun masuk ke Nikaragua -- meskipun serbuan itu gagal dan hampir semua tertangkap. Ketika ia dibebaskan, Pedro Joaquin meneruskan perlawanannya, tapi kali ini hanya dengan La Prensa yang membongkar korupsi dan menuntut kebebasan. Akhirnya pagi 10 Januari 1978. Di satu sudut jalan Ibu Kota Managua, tiga orang bersenjata memberondong mobil Saab yang dinaiki Pedro Joaquin. Pejuang ini mati dengan 20 peluru. Ketika jasadnya ditemukan, rakyat menghambur ke jalanan, berteriak, Muera! (Mati). Sebuah gedung dibakar. Dan kematian Chamorro hari itu jadi katalisator perlawanan yang lebih luas. Akhirnya pada 1979, setelah 40 tahun berkuasa, anggota terakhir dinasti Somoza pun jatuh. Sebuah pemerintahan baru -- dipimpin oleh kaum Sandinista yang Marxis -- menggantikannya. Meskipun Pedro Joaquin dan La Prensa bukan Marxis, nama keluarga Chamorro tetap jadi bendera perjuangan. Itulah sebabnya janda Pedro, yakni Violeta, diundang masuk ke politik dan duduk di junta yang berkuasa. Ia dengan sebenarnya. Politik tak disukainya. Tapi bukanlah ia juga seorang Chamorro? Bukankah suaminya yang tewas itu hidup untuk satu cita-cita? Akhirnya ia mau -- satu pilihan di usia 50 yang kemudian menggerakkan hidupnya sampai jadi presiden sekarang. "Saya ingin Nikaragua cepat beres, saya ingin pemilu yang bebas dan kemerdekaan pers, hal-hal yang tak pernah kita punyai ....," ia menjelaskan. Ia pun bekerja sama dengan kaum Sandinista. Dua anaknya, si bungsu Carlos dan si nomor dua Claudia, bahkan sudah lama aktif dengan kaum Marxis itu. Comunista neuvos, atau "komunis baru", begitulah mereka disebut: kalangan keluarga borjuis yang, entah karena rasa bersalah, idelisme, ataupun cuma mode, memilih jadi komunis. Setelah Sandinista menang, Carlos memegang "koran partai" Barricada, dan Claudia jadi duta besar ke Costa Rica. Tapi Violeta sendiri akhirnya merasa sesak untuk bekerja sama terus dengan kaum Sandinista. "Mereka punya sikap yang begitu tertutup," tutur Violeta. Ia keluar dari junta. Ia kemudian tahu, bagi kaum Sandinista, kebebasan pers sama berbahayanya seperti bagi rezim Somoza. Kepada penulis buku Life Stories of the Nicaraguan Revolution Violeta bercerita bagaimana pimpinan Sandinista menutup La Prensa dan kota itu dituduh sebagai "Imperialis, borjuis, vendepatria, penjual bangsa". Keluarga Chamorro tak urung retak. Pedro, si sulung, yang menyatakan diri "sosialis demokrat" dan menentang garis Marxis-Leninis yang berkuasa, pergi. Ia ikut membantu gerakan contra yang bergerilya atas nama antikomunisme. Violeta sediri menentang Sandinista, tapi tak pergi. Ia ikut dalam satu gabungan kekuatan politik oposisi. Dan ternyata, di pemilu yang baru lalu, ia menang. Tapi pidato pelantikannya adalah pidato tentang perlunya perbaikan hubungan kembali dua kubu yang tadinya bermusuhan. "Rekonsiliasi lebih indah ketimbang kemenangan," ujarnya. Maka, ia pun tetap mempertahankan tokoh penting Sandinista, Humberto Ortega, sebagai panglima angkatan peran. Ia tahu Amerika Serikat -- pemberi bantuan yang mentang-mentang dan cupet visinya -- menentang keputsannya. Tapi ia terus. Orang bilang Presiden Violeta Chamorro berbicara tentang "rekonsiliasi" sebagai taktik. Orang juga bilang janda tua itu naif, teramat prcaya kepada kaum Sandinista yang sangat berbahaya. Tapi orang juga bisa bilang ia bicasa tulus: bukankah ia bukan cuma ibu Si Pedro yang antikomunis, tapi juga ibu Si Carlos dan claudia yang komunis? Sebagai kepala negara, sebagai patriot, sebagai ibu: Violeta akhirnya adalah saksi sejati betapa tak mudahnya menyelesaikan satu pertentangan politik antarmanusia dengan cara sebuah mesin penghancur: renggut, lantakan, lumat. Itu sebabnya ia memilih demokrasi. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini