DRIYA Candra Aditiyanti Omar Dhani, 29 tahun, sudah kapok melamar pekerjaan ke sana kemari, tanpa hasil. "Paling-paling ditolak," keluhnya. Padahal, ibu seorang anak ini pernah bercita-cita menjadi dosen di almamaternya, Universitas Indonesia. Ketika ia sempat menjadi asisten dosen, ia disodori formulir biodata. Itu berarti ia harus "mengaku" ketika mengisi kolom "nama ayah" yang ditulisnya dengan nama Omar Dhani, bekas Panglima Angkatan Udara yang terlibat dalam peristiwa G30S-PKI. Gara-gara itulah, cita-cita Cica -- begitu panggilan akrab cewek manis ini -- cuma jadi impian belaka. Tapi itu tak membuat Cica surut melangkah. Ia kemudian mencoba bekerja di sebuah penerbitan majalah wanita di Jakarta. Lagi-lagi ia terhadang kenyataan bahwa kehadiran dirinya membuat orang lain "alergi". Apa boleh buat lamarannya ditolak mentah-mentah. Nasib serupa juga menimpa anggota keluarga Cica yang lain. Seperti adik laki-lakinya yang sudah diterima bekerja di perusahaan minyak Schlumberger di Balikpapan. Ia bahkan sudah sempat menjalani latihan selama sebulan. Namun, entah mengapa, tiba-tiba saja namanya raib dari daftar personalia. Tanpa penjelasan apa-apa. Padahal, ketika melamar, ia tak menggunakan embel-embel nama Omar Dhani. Hanya saja, "sialnya", ia menulis tempat kelahirannya di Pnom Penh. Sebuah kota yang sering diucapkan ketika poros Jakarta-Pnom Penh-Peking menjadi isu politik di awal tahun 1960-an. "Setelah diusut-usut, ya akhirnya ketahuan juga rupanya," kata Cica. Sejumlah anak muda, apa boleh buat, rupanya harus menanggung "dosa" tanpa berbuat, hanya lantaran hubungan darah atau perkawinan. Seperti yang dialami Wibi (bukan nama sebenarnya), 27 tahun, seorang sarjana teknik perminyakan. Dia termasuk pemuda yang optimistis melihat masa depannya. Pendidikan tingginya dia selesaikan dalam waktu yang tak lebih dari lima tahun. Tapi, usai duduk di bangku kuliah, ia harus menghadapi dunia luar yang ternyata kejam. Ketika melamar pekerjaan di sebuah perusahaan minyak, berkali-kali dia terpaksa menyerah karena terbentur tembok skrining. Itu hanya karena salah seorang pamannya dikenal sebagai tokoh partai terlarang. "Padahal, saya tak sekali pun sempat bertemu dia," ujar anak muda berwajah bersih itu. Kini dia gantungkan hidupnya dengan menarik taksi. Perusahaan minyak yang menolak kehadiran Wibi itu sebetulnya berstatus swasta asing kontraktor Pertamina. Konon, ada perjanjian bahwa, sewaktu-waktu kontrak tak diperpanjang, karyawan domestiknya akan ditampung Pertamina. Namun, BUMN terkaya itu punya syarat: karyawan yang bersangkutan harus bersih diri dan bersih lingkungan. Di Payakumbuh, Sumatera Barat, badai yang bernama "bersih lingkungan" ini sempat pula menghantam Syafril Ahmad, 46 tahun. Sebagai aparat pemerintah daerah, ia mempunyai karier cukup mentereng. Dia telah sampai pada jabatan Sekretaris Daerah di kantor Kabupaten Limapuluh Koto, posisi yang sering dianggap bisa mengantar ke jabatan bupati. Namun, dua setengah tahun lalu, Syafril dicopot dari jabatan yang penuh harapan itu. Pasalnya: ayah mertua Syafril diketahui terlibat G30S-PKI. Kontan dia dicap tidak bersih, lantas dia dimutasikan ke kantor gubernuran, tanpa jabatan yang jelas. Sejak itulah semangatnya seperti terbang, dia jarang datang ke kantor. Tapi belakangan Syafril memperoleh "hadiah hiburan". Dia dipindahkan ke Kantor Wakil Gubernur Wilayah III di Padang. Ia memperoleh jabatan, tapi bukan jabatan struktural -- yang lazim diidamkan pegawai negeri. Toh "promosi" itu tak banyak menolong. "Dia tetap jatuh mental, pasrah, dan tak punya kemauan membela diri," ujar salah seorang sejawatnya. Masih di Sumatera Barat, gara-gara isu bersih lingkungan ini upacara resmi pelantikan empat orang pejabat di lingkungan Departemen Agama sempat ditunda. Padahal undangan telah disebar ke berbagai instansi pemerintah. Peristiwa dadakan itu terjadi awal November 1988 silam di Padang. Penangguhan pelantikan pejabat baru itu terpaksa dilakukan sebagai akibat turunnya nota radiogram dari H. Muchtar Zarkasi, Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama. Dalam radiogram itu, Muchtar Zarkasi hanya memberikan instruksi singkat: keempat pejabat itu diminta tetap pada posisi semula. Upacara pelantikan akhirnya tertunda sekitar satu setengah bulan. Namun. ketika jatuh pada hari "H"-nya, yang dilantik cuma empat orang. Ternyata, Martius As'adi, yang sedianya dilantik menjadi Ketua Pengadilan Agama (PA) Padang tak hadir. Ke mana Martius? Dia dikabarkan tersandung batu bersih lingkungan. Sebelumnya Martius, 48 tahun, tercatat sebagai Kepala PA Payakumbuh, sejak 1980. Di kota itu Martius cukup populer. Dia tak cuma dikenal sebagai mubalig yang cakap, melainkan juga menjadi aktivis Golkar. Bahkan, dia dipercaya menjabat sebagai anggota DPRD II setempat, tentu saja dari FKP. Namun, menjelang promosinya, merebaklah info bahwa Martius tidak bersih lingkungan. Info itu justru berasal dari surat keterangan yang dikeluarkan Kantor Sospol Kodya Payakumbuh. Di situ dikatakan bahwa mendiang Ajus Bagindo Labiah, ayah Martius, adalah eks tapol Golongan B. Surat itu bergulir cepat dari Payakumbuh ke Padang, lalu ke Jakarta. Tak berapa lama kemudian, tim dari Irjen Departemen Agama terbang ke Padang khusus untuk memeriksa Martius As'adi. Namun tampaknya, hasil pemeriksaan itu tak dimaksudkan untuk disebarluaskan. Bagaimana kebenaran tuduhan itu sulit diperoleh konfirmasinya secara jelas. Yang terang, sinyalemen tersebut membuat Martius merasa seperti terpukul dua kali: dia merasa dicemarkan nama baiknya, dan sekaligus kehilangan peluang promosi. Alhasil, kini dia "cuma" menjadi staf biasa di Kantor Pengadilan Tinggi Agama di Padang. Tak semua kisah "bersih lingkungan" berakhir dengan mendung. Kakak Cica termasuk "beruntung" karena sebuah bank swasta di Jakarta bersedia menampungnya. Dan tentu saja, sejumlah putra-putri eks tapol atau mereka yang dinyatakan terlibat G30S-PKI lainnya banyak yang memperoleh kesempatan serupa, menjadi profesional di sektor swasta. Tidak semua kisah sedih "tak bersih lingkungan" itu berakhir dengan mendung. Cukup banyak yang beruntung karena masih ada sejumlah perusahaan swasta yang mau menampung mereka bekerja. Mungkin karena mereka yakin akan kebersihan diri anak-anak yang terkena getah dosa sang orangtua. Seperti sebuah bank swasta di Jakarta yang mempekerjakan seorang pemuda yang ayahnya terlibat G30S-PKI. Itu sebabnya Cica kini menaruh harapan besar dengan keluarnya Keppres No. 16/1990 itu. Paling tidak, ia masih punya peluang untuk mewujudkan cita-citanya sebagai dosen di Universitas Indonesia. Karena -- seperti yang tercantum dalam pasal 2 -- ia sendiri memang tidak terlibat dalam G30S-PKI dan organisasi terlarang yang berkaitan dengan itu. Namun, di balik harapannya itu, Cica masih meragukan bahwa Keppres No. 16/1990 itu bakal bisa mengakhiri mimpi buruknya. Bagaimanapun, menurut dia, "Semuanya tergantung keberanian perusahaan atau instansi masing-masing. Kalau pemimpinnya takut, ya tetap saja tak mau menerima saya," katanya. Keppres No. 16/1990 yang dianggap bisa dijadikan acuan baku dalam menyelesaikan soal "bersih diri" dan "bersih lingkungan" di kalangan pegawai negeri ini memang belum teruji dalam pelaksanaannya nanti. Tapi, harus diakui, sebelum muncul keppres ini, sudah banyak yang jadi korban (lihat: Sebuah Upaya Menghapus Dosa Turunan). Banyak di antara korban-korban itu yang jatuh akibat bisik-bisik atau isu. Ada juga yang terkena sebab iri hati, sentimen atau persaingan dalam karier. Ambillah contoh nasib yang menimpa seorang pengarang, yang sebut saja bernama Kresna. Karyanya, antara lain, novel pendek Si Rangka dan Api cukup laris pada 1964-1965. Sebagai pengarang sebetulnya dia cukup punya nama ketika itu. Tapi dia enggan melanjutkan karier kepengarangannya, setelah "terserempet" isu dituduh menjadi anggota organisasi seniman pro-komunis, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di tahun-tahun 1965-1966. Ketika itu, dia masih berstatus mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Merasa tak pernah berurusan dengan Lekra, dia pun bergegas pergi ke Kodim, Koramil, dan kepolisian -- minta diskrining. Hasilnya? "Semuanya beres, saya dinyatakan bersih dan diizinkan terus melanjutkan kuliah," ujar Kresna, kini 58 tahun. Dia pun lulus sebagai sarjana komunikasi pada 1969. Setelah itu, dia diterima sebagai staf pengajar di Fikom (Fakultas Ilmu Komunikasi) Unpad. Semuanya berjalan baik-baik saja, sampai dia menerima SK dari Departemen P & K, 24 Mei 1988 silam. Isinya: Kresna diberhentikan secara tidak hormat dari pekerjaannya. "Ini betul-betul top-nya musibah. Diri saya merasa seperti dibunuh," ujar pria yang rambut, kumis, dan alisnya telah memutih itu, kepada TEMPO ketika itu. Dia tidak saja kehilangan pekerjaan. "Saya juga dinyatakan tak berhak atas uang pensiun," tambahnya. Vonis pemecatan itu benar-benar mengguncangnya. Sebab, Kresna merasa bahwa tuduhan sebagai Lekra itu telah dijernihkan secara tuntas. Setidaknya dia mengaku telah tiga kali lolos skrining. Yang pertama 1966, 20 tahun kemudian dia diskrining lagi oleh Irjen Departemen P & K, lalu oleh Laksusda Jawa Barat. Pemeriksaan kali itu pun, "Menyatakan saya tak terlibat," tuturnya. Kresna tak kunjung mengerti atas vonis "Lekra" seperti yang disebut dalam pemecatan. Dia pun bingung, instansi mana yang sebetulnya berwewenang mengeluarkan surat bersih diri itu. Apa boleh buat. Kresna pun sampai pada anggapan, "Vonis itu muncul atas kehendak Unpad, bukan Laksusda." Alasannya: ada pejabat universitas yang menaruh sentimen. Kresna mengakui, namanya pernah dimunculkan di jajaran pengurus Synthesia, majalah yang diterbitkan oleh kelompok mahasiswa pro-komunis CGMI. Tapi pencatutan nama itu, menurut Kresna, sama sekali di luar kehendaknya. "Begitulah kelihaian PKI menjerumuskan orang," ujarnya gemas. Dia pun mengakui keteledorannya, ketika dia tak buru-buru protes saat dua novelnya Api dan Si Rangka dilarang beredar lantaran dianggap "terlalu kiri". Sikap diamnya itu, boleh jadi, memberi kesan bahwa dirinya merasa bersalah. Tapi keteledoran itu sudah dijernihkan lewat pemeriksaan," ujarnya membela diri. Nasib buruk yang menimpa Kresna itu, tak urung, menurun pula kepada anak lelakinya, Bima (bukan nama sebenarnya). Anak muda lulusan program diploma di Unpad itu mengurungkan niatnya untuk mengikuti program wamil (wajih militer). Dia pun putar haluan, mencari pekerjaan di sektor swasta. "Saya kan harus tahu diri," ujarnya sendu. Memang, bukan salah Bunda mengandung. Lantas, apakah Keppres No. 16/1990 akan bisa membersihkan mereka dari alergi dosa turunan? Sri Pudyastuti R., Putut Tri Husodo, dan AKS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini