TERUNGKAPNYA pernyataan dari sejumlah tokoh Islam untuk mencalonkan kembali Pak Harto sebagai presiden untuk periode 1993-1998 hingga pekan silam masih ramai dibicarakan. Beberapa kedutaan negara Barat sibuk mencari informasi tentang masalah itu. Di berbagai resepsi pun hal itu banyak dipersoalkan. Pernyataan itu sendiri terlambat diketahui umum. Tanggal dikeluarkannya 30 September 1989, tapi baru diketahui umum akhir April silam. Ada yang mengartikan pernyataan diam-diam ini sebagai suatu usaha rekayasa politik: menyusun kebulatan tekad mendukung seorang calon presiden, jauh sebelum saat pencalonan tiba (sidang MPR pada 1993). "Disimpan"-nya pernyataan ini (menurut rencana, pernyataan ini baru akan diumumkan menjelang Sidang Umum MPR nanti) diduga untuk memberikan "nilai tambah" pada 1993 nanti: bahwa dukungan itu sebenarnya sudah lama diputuskan. Pernyataan dukungan itu ditandatangani oleh 21 tokoh, yang bisa dikatakan mewakili hampir seluruh aspirasi Islam di Indonesia. Hampir semua penandatangannya tokoh yang dikenal luas dan cukup berpengaruh, seperti H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, K.H. Masjkur, K.H. Harsono Tjokroaminoto, K.H. Hasan Basri, K.H. Ali Yafie, dan Lukman Harun. Mengapa pernyataan dukungan ini tak disertai gembar-gembor publisitas, seperti lazimnya dalam dunia politik? "Bukan maksud kami untuk diam-diam. Tapi kami berada dalam posisi sulit untuk mengumumkannya karena persoalan etis," kata H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, pemrakarsa utama pernyataan itu. Pernyataan yang berjudul "Sikap Bersama Umat Islam Indonesia" itu, antara lain, berbunyi "Mendesak fraksi-fraksi di MPR untuk mencalonkan kembali Soeharto sebagai mandataris MPR periode 1993-1998". MPR hasil pemilu 1992 memang belum terbentuk, "Jadi, tidak etis kalau diumumkan sekarang," kata Alamsjah, yang kini menjabat Ketua Dewan Pembina Mathla'ul Anwar. Namun, Alamsjah mengaku, pernyataan dukungan tadi sudah disampaikan kepada Presiden Soeharto, sekitar minggu pertama Oktober 1989 yang lalu. "Beliau tidak memberikan tanggapan apa-apa dan tampaknya terharu, kaget, karena isi pernyataan ini di luar dugaannya," ujar Alamsjah. Pernyataan dukungan ini bukan cuma datang dari Alamsjah dkk. K.H. As'ad Sjamsul Arifin, pemimpin Pondok Pesantren Assyafiiyah, Situbondo, pada 27 Februari 1990 juga melayangkan surat kepada Pak Harto. Isinya: dukungan terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto untuk tetap memimpin negeri ini sampai tahun 2000. Menurut Alamsjah, lahirnya pernyataan ini diawali ketika Pak Harto kembali dari perjalanannya ke Uni Soviet, medio September 1989 lalu. Dalam kunjungannya itu, sebelum ke Moskow Pak Harto mampir ke Bukhara, dan berziarah ke makam Imam Bukhari, perawi hadis sahih. "Peristiwa ini sangat mengharukan buat umat Islam di Indonesia," kata Alamsjah. Dalam perjalanan pulang dari Uni Soviet, di pesawat terbang, Pak Harto membuat pernyataan. Antara lain soal "menggebuk" siapa saja yang berupaya secara inkonstitusional untuk menggantikannya sebagai presiden. Ketika itu, Alamsjah melihat hampir tak ada tokoh dan kekuatan sosial politik yang bereaksi atas pernyataan Pak Harto itu. "Padahal, itu kan pernyataan politik," kata Alamsjah. Itulah yang membuat Alamsjah tergerak untuk mengundang sejumlah pemuka Islam di kantornya, di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, pada 30 September 1989. Yang hadir adalah tokoh-tokoh dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) seperti K.H. Hasan Basri dan K.H. Ali Yafie. Dalam pertemuan itu dibahas perihal keadaan umat Islam Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. "Ternyata, beliau banyak membantu dalam mengembangkan dan membina umat Islam di negeri ini," kata Alamsjah. Salah satu tindakan Pak Harto sebagai kepala negara yang membuktikan bahwa dia punya perhatian terhadap umat Islam misalnya dalam mengegolkan UU Peradilan Agama, 1989. Semakin pesatnya perkembangan umat Islam di Indonesia juga dibenarkan oleh Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri. "Di bawah kepemimpinan Pak Harto kini semakin terasa ada indikasi yang meningkat bahwa agama sudah jadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Katakanlah 10 tahun yang lalu bibit mulai ditanam, ibarat pohon kini sudah berbuah, bercabang, dan beranting. Proses ini harus diteruskan dan jangan dipangkas," katanya. Alamsjah kemudian menunjuk keterlibatan Pak Harto dalam mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila pada 1982. "Yayasan itu berhasil mendirikan 400 masjid dan mengumpulkan dana sekitar Rp 60 milyar," katanya. Juga banyak hal lain yang menunjukkan bahwa Pak Harto menjalankan syiar Islam. Seperti ketika ia tampil dalam Hari Kanak-Kanak Nasional, Juli 1989 silam. Saat itu Pak Harto berdialog dengan seorang anak sekolah dasar dan meminta kemudian kepada anak tersebut untuk membaca surat Al-Fatihah. "Kalau ulama yang berbuat begini, itu wajar. Tapi lain halnya kalau Presiden yang melakukannya dan disiarkan oleh TVRI ke seluruh Indonesia. Ini membuat kita trenyuh. Hal itu menunjukkan bahwa Pak Harto punya perhatian khusus terhadap Islam," ujar Alamsjah. Karakter kepemimpinan seperti inilah yang menurut Alamsjah harus dipertahankan, dan karena itu ia bersama kelompoknya bertekad mendukung Pak Harto menjadi Presiden RI periode 1993-1998. "Karena ini wewenang Sidang Umum MPR 1993, yah, saya tak bisa memaksakan. Terserah MPR nanti," katanya. Kenapa Pak Harto lagi? "Saya tidak berlebihan. Sampai saat ini saya belum menemukan tokoh yang capable dan acceptable seperti Pak Harto," kata Alamsjah. Ahmed K. Soeriawidjaja, Moebanoe Moera, dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini