JAKARTA bagaikan berubah wajah. Tak ada lagi pedagang asongan yang turun ke jalan -jalan. Juga pengamen, pengemis, penjual koran. Mereka seperti lenyap begitu saja, setidaknya Senin pekan ini, tatkala operasi yustisi yang merupakan bagian dari operasi Esok Penuh Harapan (OEPH) menginjak hari pertama. Tentu ada yang bandel. Dan ganjaran untuk yang bandel bisa dilihat di kantor-kantor Polres di lima wilayah. Di Polres Jakarta Pusat, misalnya, ada Gunawan Suparno, 30 tahun. Ia duduk takut-takut di bangku yang disediakan. Berkemeja lusuh, lelaki ini memandangi hakim di depannya dengan tatapan kosong. Suparno, yang ditangkap sedang mengasong, saat itu diadili oleh hakim tunggal I Gusti Made Lingga dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di ruang Polres yang disulap sebagai ruang sidang peradilan kilat ini, ada Jaksa Cok Gede Anom. Ada juga Panitera Mujahid. Bahkan, disediakan seorang pembela untuk Suparno, yaitu M. Siringo-ringo dari Kantor Pengacara Mochtar Pakpahan. Disaksikan sekitar 20 temannya, Suparno dituduh menjajakan koran di perempatan Jalan Cempaka Putih. Ini melanggar Pasal 16 Ayat 2 UU Lalu Lintas dan Pasal 27 Perda 11/1988 tentang ketertiban umum dalam wilayah Jakarta. Suparno membantah berjualan di tengah jalan. Ia mengaku menjajakan koran di pinggir jalan. Terpaksa, dua polisi yang menangkapnya diajukan sebagai saksi. Kata saksi Sunardi, Suparno tadinya memang berjualan di jalan, tetapi begitu melihat polisi ia duduk di pinggir jalan. Di situlah ia ditangkap dengan barang bukti 37 koran yang dibawanya. Setelah terdakwa selesai diperiksa sebagaimana jalannya peradilan biasa, hakim menjatuhkan vonis. Suparno bersalah dan didenda Rp 3.000 dengan subsider kurungan 3 hari. Ia juga harus membayar biaya perkara Rp 1.000, sedang barang bukti dirampas. Tampak dengan berat hati Suparno merogoh sakunya. Seluruh proses peradilan ini memakan waktu tidak sampai 15 menit. Giliran selanjutnya Asep Suanda. Pemuda 21 tahun asal Bandung ini mengenakan kaus yang bersih. Rambutnya yang berbuntut panjang diikatnya dengan tali karet. "Saya baru datang kemarin dari Bandung. Dari Kelapa Gading mau ke tempat teman saya di Galur, naik bis kota. Untuk ngirit ongkos, saya ngamen di bis," katanya. Ia tak tahu bahwa operasi penertiban asongan ini juga merambah ke bis kota. Asep diganjar hukuman denda Rp 2.000 dan membayar ongkos perkara Rp 1.000. Hakim memakai Pasal 504 KUHP dan Pasal 22 Perda 11/1988. Operasi Esok Penuh Harapan digelar Menko Polkam Sudomo sejak November tahun lalu. Sudomo berinisiatif mengatur para pedagang asongan yang dianggapnya sudah mengganggu ketertiban. Mula-mula, ia membuat proyek percontohan dengan menampung 69 pedagang asongan di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin. Mereka didaftar, diberi rompi oranye, dan kotak rokok yang bisa didorong. Dengan berjualan di halte-halte bis, diharapkan mereka tidak mengganggu lalu lintas. Merasa berhasil, Sudomo meningkatkan OEPH ini ke seluruh Jakarta. Pedagang asongan didaftar, sebagian diberi rompi, ada yang dikirim ke Balai Latihan Kerja, ada yang dipulangkan ke daerah asalnya. Usia sekolah diberi beasiswa. Namun, pedagang asongan tak pernah lenyap dari jalan-jalan. Sampai awal Mei lalu, langkah Sudomo masih persuasif dan preventif untuk pengasong yang bandel. Mereka yang kepergok polisi berjualan di jalan dibawa ke Polres dan dinasihati. Batas toleransi itu berakhir Senin pekan ini. Jalur hukum pun ditempuh. Dasar hukumnya dituangkan dalam sebuah Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani oleh Gubernur DKI, Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, dan Kapolda, Kamis pekan lalu. Bukan hanya pedagangnya yang ditindak, melainkan juga pembelinya. "Siapa pun yang mengganggu ketertiban lalu lintas akan terkena. Pedagang asongan, pembeli, pengamen, tukang lap mobil, sampai pengemis," kata Soedharto, sekretaris tim asistensi OEPH. Sudomo sendiri siap dituduh tidak manusiawi. "Saya sudah siap dicaci-maki siapa pun," kata Sudomo. Belum -- atau mungkin tidak -- ada yang mencaci Sudomo. Namun, Oka Mahendra dari Fraksi Karya DPR mengingatkan Sudomo bahwa pedagang asongan harus ditangani secara ekonomi, bukan hukum. "Persoalannya bersumber dari masalah ekonomi. Jika tidak diatasi secara ekonomi, maka penyelesaian secara hukum akan percuma," kata Oka Mahendra seperti dikutip Merdeka. Pengacara Henry Yosodiningrat juga memberikan kritik terhadap penangkapan pedagang asongan. "Ini ibaratnya membunuh nyamuk pakai meriam," katanya. Yang dimaksudkan "meriam" adalah pengerahan tenaga yang sedemikian besar untuk melenyapkan pedagang asongan dari jalan. Operasi yustisi ini melibatkan banyak pihak. Di Polres Jakarta Pusat misalnya lebih dari 50 orang polisi dikerahkan. Untuk peradilan kilatnya, disediakan lima hakim dan enam jaksa. Sidang-sidang dibuka jam 10.00, 15.00, dan 20.00 WIB, setiap hari. Di hari pertama, sampai Senin siang, sudah terjaring 21 kasus di Jakarta Utara, 31 kasus di Jakarta Barat, 51 kasus di Jakarta Selatan, 41 kasus di Jakarta Pusat, dan 35 kasus di Jakarta Timur. Operasi yustisi ini berlangsung sampai akhir Juni. Tapi, apa kata para "nyamuk"? "Saya nggak takut. Habis, makan kan nggak bisa berhenti," kata Djoko, pedagang asongan yang menjajakan rokok. Ia tetap nekat dan belum tertangkap -- konon punya siasat main kucing-kucingan. Adapun Rudi dan Heri, penjaja koran di Senen, yang sudah disidang di Polres Jakarta Pusat, hanya bisa meremas-remas tangannya. Untung, ia punya uang, kalau tidak bisa masuk penjara. Diah Purnomowati dan Muchlis H.J.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini