MELAKSANAKAN "peraturan" kadang kala tidak gampang. Belum lagi jika persoalannya segawat urusan "bersih diri" atau "bersih lingkungan" dari keterlibatan dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia. Maklum, ini predikat yang bakal membuat repot para penyandangnya. Seperti soal yang ramai dibicarakan kalangan bisnis dan perbankan di Ujungpandang sepanjang pekan lalu, mulanya juga dari "susahnya" penjabaran soal ini. Keresahan para pengusaha dan bankir kota pelabuhan terbesar di Indonesia Bagian Timur itu mulai marak ketika muncul surat dari Kepala Kantor Sosial Politik (Kakansospol) Kota Madya Ujungpandang, Letkol. Inf. Ali Laskan. Surat yang ditujukan kepada para direktur dan pemimpin bank di Ujungpandang itu segera saja menimbulkan tanda tanya di kepala mereka. Mereka bahkan kemudian heboh. Maklum, yang diatur lewat surat bernomor 351/355/KSP/1990 itu memang bukan soal enteng. Kakansospol yang juga Ketua Tim Screening untuk Kota Madya Ujungpandang ini mengharuskan para pemohon kredit bank yang tergolong kelas menengah ke atas terlebih dulu mendapat rekomendasi hasil skrining mental ideologi atau skrining pembauran yang dikeluarkannya. Bisa ditebak, surat ini segera mengundang tanggapan. Terlebih lagi jika dilihat alasannya, surat Ali Laskan yang dikeluarkan 24 Maret 1990 itu mempunyai dasar cukup kuat. Landasan yang digunakan Ali Laskan mengundangkan peraturan itu adalah Surat Perintah Wali Kota Madya Ujungpandang, Suwahyo. Empat hari sebelumnya, 20 Maret 1990, Suwahyo memang memerintahkan Kakansospol Kota Madya Ujungpandang melalui surat perintah bernomor 270/518/SP/KSP. Isinya: perlu diadakan tes skrining mental ideologi untuk para calon tenaga honorer, pekerja kontrakan leveransir/rekanan, kontraktor, pemohon Surat Izin Tempat Usaha (SITU) golongan menengah ke atas dan lain-lain. Wali Kota Suwahyo mendasarkan surat perintahnya itu pada surat dari Bakorstanasda yang pokok isinya sama. Buat Ali Laskan, kata "dan lain-lain" itu rupanya bisa diterjemahkan lebih jauh. Beranjak dari kata "dan lain-lain" ini ia lantas mengedarkan suratnya kepada para direktur dan pimpinan bank se-Ujungpandang tadi. Tentu saja, sebagai Kakansospol, Ali yang berasal dari Kodam VII Wirabuana punya pemikiran yang cukup panjang tentang kebijaksanaannya itu. "Jangan sampai kredit bank nantinya digunakan orang untuk membiayai kegiatan organisasi terlarang," tuturnya tentang ihwal keputusannya itu, ketika ditemui TEMPO. Pemikiran inilah yang membuat Ali Laskan lantas memikirkan upaya pencegahan yang lebih dini. "Karena itu, para pemohon kredit itu harus di-clearance dahulu," ia menjelaskan. Maksud Ali, para pemohon kredit bank itu diharuskannya lulus clearance test atau yang lebih populer dengan sebutan skrining mental dan ideologi itu. Jelas, demikian Ali, ia hanyalah bermaksud ingin mengamankan uang bank tanpa ada maksud untuk memasukkan kepentingan pribadi di sana. Jalan pemikiran Ali Laskan dalam menafsirkan surat perintah wali kota dan untuk mengamankan uang bank rupanya tidak klop dengan pemikiran banyak orang. Bahkan menimbulkan reaksi yang cukup keras. Salah satunya adalah juru bicara Fraksi ABRI di Dewan Perwakilan Rakyat, Sundoro Syamsuri. "Saya sempat senewen kok ada kepala Kantor Sosial Politik Kodya Tingkat II mengeluarkan instruksi demikian," tuturnya kepada Muchlis H.J. dari TEMPO. Tindakan Ali itu tak masuk di akal Sundoro. Sebab, menurut dia, tak ada peraturan yang mengatur demikian. "Itu mengada-ada, overacting," tuturnya. Untungnya, kebingungan para bankir di Ujungpandang itu tak berlangsung terlalu lama. Bank Indonesia, sebagai bank sentral yang mengatur segala tetek-bengek perbankan di tanah air, segera mengirimkan nota teleks ke seluruh Indonesia. Termasuk Ujungpandang tentunya. "Semua bank harus menjalankan pemberian kredit sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Dahlan Sutalaksana, juru bicara Bank Indonesia, yang dikutip Kompas. Peraturan pemberian kredit yang berlaku selama ini jelas tak menghubung-hubungkan soal utang-piutang antara bank dan nasabahnya ini dengan tes skrining mental ideologi. Berarti makin tampaklah "kelebihan" penafsiran Ali Laskan dalam menjabarkan perintah wali kotanya. Di tengah berbagai kecaman tentang kekeliruan penafsiran itu, ternyata muncul juga pandangan yang lebih lunak. Itu keluar dari Gubernur Sulawesi Selatan Prof. Dr. A. Amiruddin Pabittei. Sang gubernur dengan arif melihat, kekeliruan yang dilakukan oleh Ali Laskan itu adalah tanda-tanda kreativitas. "Tidak akan ada yang kreatif jika takut salah," Amiruddin menegaskan. Bahkan lebih jauh ia melihat kelemahan birokrasi adalah kurangnya kreativitas pada aparat pemerintah. Akibatnya, mereka hanya menunggu saja turunnya perintah dari para atasan. Di luar soal kreativitas, Pemda Ujungpandang bertindak sebat pula. Sejak Kamis minggu lalu, surat Ali Laskan yang sempat bikin heboh itu akhirnya dinyatakan tidak pernah ada. Bukan cuma surat keputusan itu yang dicabut. Jabatan Kakansospol yang disandangnya terpaksa dicopot pula. Ali Laskan menganggapnya sebagai hal yang biasa. "Sebagai prajurit, saya harus loyal kepada atasan," katanya. Ia sendiri belum tahu, apa yang akan dilakukannya setelah jabatannya itu dilepas. Yang pasti, ia kini dikembalikan ke kesatuannya, Kodam VII Wirabuana. Senin pekan ini, ia menghadap Wali Kota Suwahyo, menerima pelepasan jabatannya sebagai Kakansospol. "Nyawa saja bisa lepas dari raga kita, apalagi cuma jabatan," katanya lirih. Yopie Hidayat dan Erwin Patandjengi (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini