Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Menteri Agama yang mengharuskan semua majelis taklim terdaftar memberi kesan adanya kecurigaan berlebihan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Peraturan tersebut seperti gebyah uyah bahwa semua majelis taklim rawan disusupi penyebar radikalisme dalam beragama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Nomor 29 Tahun 2019 yang diteken Menteri Agama Fachrul Razi pada 13 November 2019 mengharuskan setiap majelis taklim mendaftar ke Kantor Urusan Agama tingkat kecamatan agar mengantongi surat keterangan terdaftar majelis taklim dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota. Majelis taklim juga harus menyertakan susunan kepengurusan beserta anggota, materi yang disampaikan dalam setiap pertemuan, serta melaporkan semua kegiatan dan pendanaannya secara berkala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pejabat Kementerian Agama kemudian bersilat lidah dengan menyatakan, meski merupakan keharusan, pendaftaran majelis taklim bukanlah kewajiban yang disertai sanksi. Keharusan mendaftar diklaim sebatas memenuhi prosedur administratif agar pemerintah dapat membina dan menyalurkan bantuan untuk majelis taklim.
Tentu saja penjelasan pejabat Kementerian Agama yang ambigu itu jauh dari menjernihkan persoalan. Apalagi, aturan wajib daftar ini tidak terbit ujug-ujug alias tanpa asbabun nuzul. Konteks politiknya, orang ramai mafhum bahwa aturan ini keluar setelah pejabat Kementerian Agama melontarkan rentetan pernyataan ihwal ancaman radikalisme.
Pemerintah memang sudah seharusnya mencegah penyebarluasan radikalisme serta intoleransi dalam beragama, demi merawat keberagaman di negeri ini. Tapi caranya bukan dengan mencurigai setiap majelis taklim. Sebab, tak sedikit majelis taklim yang menyebarkan paham yang moderat serta toleran dalam beragama. Apalagi, secara teknis, Kementerian Agama pun tak akan punya cukup tenaga untuk mengawasi semua majelis taklim yang jumlahnya entah berapa banyak.
Alih-alih memelototi majelis taklim, pemerintah seharusnya berfokus mengawasi pentolan serta simpul-simpul jaringan penyebar intoleransi. Para demagog berkedok agama, yang kerap mengumbar ujaran kebencian dalam pelbagai pertemuan atau lewat media konvensional dan media sosial, lebih dulu harus ditertibkan. Begitu pula dengan pengurus dan anggota organisasi kemasyarakatan yang kerap melakukan pelbagai kekerasan atas nama agama. Bila dibiarkan, daya rusak mereka bagi keberagaman di negeri ini jelas sangat nyata.
Dalam menertibkan kelompok atau organisasi penebar kebencian serta intoleransi, pemerintah semestinya mengacu pada Pasal 59 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pasal ini melarang ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu. Ketika ada pengurus atau anggota ormas yang melakukan kekerasan, pemerintah jangan ragu memproses mereka ke jalur pidana.
Ketimbang merecoki majelis taklim, sebaiknya Kementerian Agama mengurusi hal lain yang lebih penting. Pemerintah, misalnya, masih memiliki banyak "pekerjaan rumah" untuk membenahi sistem pendidikan sekolah berbasis agama, seperti madrasah dan pesantren. Lewat institusi pendidikan itu, Kementerian Agama bisa lebih leluasa menanamkan benih-benih toleransi dan menyebarluaskan wajah Islam yang bersahabat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo