Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemakaian uang elektronik merupakan keniscayaan pada zaman digital ini. Tak aneh, banyak yang meramalkan penggunaan uang tunai segera punah. Konsumen kini memanfaatkan kemu-dahan transaksi nontunai, dari pembayaran moda transportasi, penyaluran bantuan sosial, sampai jual-beli barang.
Makin banyaknya pemakaian uang elektronik jelas kabar menggembirakan. Kehadiran sejumlah instrumen pembayaran itu meningkatkan kemudahan transaksi keuangan sekaligus mengurangi biaya pencetakan uang. Konsumen bisa melakukan pembayaran kapan dan di mana saja. Sedangkan Bank Indonesia tak perlu cepat-cepat mengganti uang beredar. Ini sejalan dengan cita-cita pemerintah mendorong Gerakan Nasional Nontunai, yang gencar dikampanyekan Bank Indonesia sejak lima tahun lalu.
Upaya mendorong masyarakat agar terbiasa memakai alat pem-bayaran nontunai mulai terasa hasilnya setelah uang elektronik ber-basis server, seperti GoPay, OVO, DANA, dan LinkAja, bermunculan di pasar dompet digital pada 2016-2019. Kehadiran mereka meleng-kapi penggunaan uang elektronik berbasis chip yang telah ada, seperti e-Money, Flazz, dan Brizzi. Jumlah entitas yang mengantongi izin uang elektronik hingga Mei tahun ini mencapai 38 perusahaan.
Lompatan pemakaian uang elektronik terekam dalam data Bank Indonesia. Pada akhir 2018, volume transaksi uang elektronik mencapai 2,9 miliar dengan nilai Rp 47,2 triliun. Nilai transaksi itu melonjak hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya, sebesar Rp 12,4 triliun. Penggunaan uang elektronik hingga Juli tahun ini bahkan sudah mencapai Rp 69 triliun. Inklusivitas pemakaian uang elektronik untuk layanan umum, misalnya pembayaran jalan tol, ikut mengerek volume dan nilai transaksi. Padahal, satu tahun setelah Gerakan Nasional Nontunai bergulir, nilai transaksi uang elektronik baru mencapai Rp 5,3 triliun atau hanya naik Rp 2 triliun dari 2014.
Di tengah ketatnya persaingan, Bank Indonesia—sebagai regulator—harus betul-betul mendorong terjadinya kompetisi yang sehat di antara para pelaku. Hanya dengan cara ini mereka akan terlecut mencari inovasi agar lebih efisien dan memiliki keunggulan bersaing. Sistem pembayaran nontunai yang lebih praktis, aman, dan efisien pada akhirnya akan menguntungkan pelanggan. Dengan efisiensi ini pula perusahaan pembayaran bisa bertahan di pasar.
Tumbuhnya penggunaan transaksi nontunai tak hanya memberikan manfaat bagi konsumen, tapi juga bagi para merchant yang selama ini menjadi mitra. Jumlah merchant yang menggunakan GoPay, misalnya, mencapai 400 ribu. Sebagian besar dari mereka merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah. Naiknya nilai transaksi otomatis meningkatkan pendapatan mereka. Dengan begitu, ekosistem pembayaran digital bisa tumbuh berkelanjutan.
Yang patut diwaspadai adalah praktik predatory pricing dengan menjatuhkan harga jauh di bawah biaya keekonomian dengan tujuan mematikan pesaing. Caranya: “membakar uang” terus-menerus demi membunuh pesaing. Lalu satu penyedia layanan akan menjadi pemain tunggal di pasar. Ini biasa dilakukan perusahaan yang memiliki modal besar. Indikasi ini terlihat dari maraknya diskon dan promosi uang kembali yang ditawarkan kepada konsumen. Subsidi harga ini berlawanan dengan iklim kompetisi yang sehat.
Bila nantinya terjadi monopoli atau pasar dikuasai segelintir pemain, konsumen akan dirugikan karena tak punya banyak pilihan. Gerakan Nasional Nontunai bisa redup di tengah jalan. Regulator harus memastikan tak akan tercipta pasar yang monopolistik itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo