Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Whistleblower dapat berperan untuk mengungkap pelanggaran pajak.
Informasi dari mereka juga dapat menambah pendapatan negara.
Negara perlu memberi jaminan kerahasiaan dan hadiah kepada mereka.
Grameyru Prabu Edward
Analis di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Mei lalu, Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (SEC) mengumumkan pemberian hadiah senilai US$ 278 juta atau sekitar Rp 4,1 triliun kepada peniup peluit (whistleblower) atau pelapor yang membantu institusi pasar modal Amerika itu dalam mengungkap pelanggaran. Di lain sisi, SEC berhasil meraup US$ 4 miliar atau sekitar Rp 59,6 triliun dari pengenaan sanksi terhadap berbagai pelanggaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsep serupa dianut oleh Internal Revenue Service (IRS), otoritas pajak federal Amerika. IRS dapat memberi hadiah 15-30 persen dari total penerimaan finansial yang bersumber dari informasi whistleblower. Namun ada syaratnya, antara lain, informasi itu berhubungan dengan pelanggaran pajak dengan nominal melebihi US$ 2 juta atau sekitar Rp 29,8 miliar. Selain itu, pelapor baru bisa memperoleh hadiah setelah terlapor menggunakan seluruh haknya untuk melakukan upaya hukum dan tidak dapat lagi mengajukan restitusi atas pengenaan pajak yang bersumber dari informasi pelapor.
IRS telah membayar hadiah senilai US$ 36,1 juta atau sekitar Rp 537,8 miliar kepada pelapor pada 2021 dan total penerimaan yang bersumber dari informasi pelapor adalah US$ 245,3 juta atau sekitar Rp 3,6 triliun. Dengan demikian, porsi hadiah mencapai 14,7 persen dari total tambahan penerimaan. Laporan tahunan 2021 IRS Whistleblower Office menyebutkan bahwa sejak 2007, IRS membagikan hadiah sekitar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,9 triliun kepada pelapor. Namun, di lain pihak, IRS berhasil mengumpulkan penerimaan sekitar US$ 6,39 miliar atau sekitar Rp 95,2 triliun.
Pelapor juga berperan penting di luar kerja sama langsung dengan otoritas pemerintah. Contoh paling fenomenal adalah Panama Papers, ketika whistleblower membocorkan data firma hukum Mossack Fonseca kepada media Jerman, Süddeutsche Zeitung. Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) menyebutkan, setelah menggelar investigasi pajak yang terkait dengan Panama Papers, pemerintah di berbagai belahan dunia berhasil mengumpulkan tambahan penerimaan lebih dari US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 17,8 triliun.
Tidak hanya dari aspek finansial, Panama Papers juga diduga telah mengubah perilaku korporasi. ICIJ mengutip data Bloomberg Linea bahwa, sepanjang 2012-2022, jumlah pendirian perusahaan anonim di Panama turun drastis sebanyak 63 persen. Selain itu, pada 2016, terjadi pembubaran perusahaan anonim yang terbesar dalam satu dekade terakhir di Panama, yaitu sebanyak 14.172 perusahaan.
Peran pelapor juga dapat menghadapi tantangan berat. Raphael Halet, warga negara Prancis dan mantan pegawai firma akuntansi PricewaterhouseCoopers (PwC), membocorkan dokumen berisi skema perpajakan yang melibatkan perusahaan multinasional, otoritas pajak Luksemburg, dan PwC, kepada jurnalis pada 2012. Dokumen ini berkembang menjadi bagian dari skandal Luxembourg Leaks yang berujung kepada tuntutan PwC dan pemidanaan Halet oleh pengadilan Luksemburg.
Setelah upaya hukum bertahun-tahun, pada Februari lalu, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) memutuskan bahwa pemidanaan Halet oleh pengadilan Luksemburg merupakan pelanggaran terhadap hak berekspresi, khususnya hak dalam menyebarkan informasi. Lebih jauh, ECHR menyebutkan bahwa kepentingan masyarakat terhadap informasi yang disebarkan Halet mengenai praktik perpajakan perusahaan multinasional justru lebih besar dibanding dampak negatif akibat penyebaran informasi tersebut. ECHR juga menghukum Luksemburg untuk membayar kompensasi kepada Halet sebesar 55 ribu euro atau sekitar Rp 920 juta.
Kisah di atas menunjukkan potensi peran whistleblower dalam tata kelola perpajakan dan tantangan yang mereka hadapi. Sebagai pihak yang memiliki pengetahuan mengenai suatu pelanggaran, informasi itu dapat membantu otoritas perpajakan dalam menegakkan aturan dan pada akhirnya mendorong terciptanya rasa keadilan sekaligus menambah penerimaan negara. Kedua hal tersebut dapat berkontribusi penting dalam peningkatan rasio pajak Indonesia, yang, menurut Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2022 OECD, termasuk terendah di kawasan Asia-Pasifik dan hanya lebih baik dari Bhutan dan Laos.
Penguatan peran whistleblower secara eksplisit dalam legislasi perpajakan di Indonesia setidaknya dapat dilakukan dengan memberi jaminan kerahasiaan dan hadiah. Hal-hal tersebut belum tercakup dalam ketentuan perpajakan saat ini serta merupakan hal yang layak diberikan kepada whistleblower sebagai bentuk perlindungan dan insentif.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan pandangan instansi tempat penulis bekerja
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo