Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandemi Covid-19 belum ada tanda-tanda akan berakhir. Penambahan kasus positif masih terus terjadi. Pemprov DKI Jakarta bahkan memperpanjang pembatasan sosial transisi karena kluster baru bermunculan dari perkantoran. Tak ada yang tahu kapan Covid-19 mencapai puncaknya. Apalagi berakhir.
Dalam situasi tak jelas ini pelonggaran terus terjadi. Setelah pasar dibuka dengan alasan agar ekonomi harus bergerak dan menyusul perkantoran, kini kawasan wisata dibuka. Bali membuka diri untuk wisatawan domestik. Pembukaan ditandai dengan datangnya para pejabat terkait, Menteri Pariwisata dan Menteri Perhubungan, persis di hari ketika umat muslim merayakan Idul Adha.
Turis domestik dari mana yang akan datang ke Bali? Banyak orang yang ragu. Persyaratan untuk menjadi turis domestik itu masih ketat. Antara lain harus ada surat keterangan sehat yang ditandai dengan telah menjalani rapid test. Ini syarat yang membuat orang enggan datang melakukan kunjungan wisata. Namun, kalau syarat itu tak dipeniuhi, dikhawatirkan orang yang terjangkit Covid-19 juga bisa melenggang ke tempat wisata. Apalagi jika mereka tergolong tanpa gejala. Sehat penampilannya namun virus corona sudah berada di tubuhnya. Jika itu yang terjadi, tak mustahil tempat wisata, baik itu hotel maupun tempat rekreasi terbuka, akan menjadi kluster baru penyebaran Covid-19. Seperti perkantoran di Jakarta yang sudah menjadi sarang corona.
Kebijakan pemerintah memang membingungkan. Imbauan untuk tetap di rumah, jika tak perlu amat harus bepergian, terus diumumkan. Tapi tempat wisata dibuka dan meminta agar orang memanfaatkannya. Ekonomi harus bergerak. Pedagang-pedagang di tempat wisata harus tetap bisa mencari nafkah. Sementara orang diminta untuk menjauhi keramaian dan tetap jaga jarak. Sesuatu yang sulit, memang kalau mau berenang di pantai bisa nikmat sendirian?
Persyaratan rapid test juga memberatkan bagi pedagang di tempat wisata, termasuk bagi karyawan hotel dan restoran. Apalagi rapid test ini harus dibayar sendiri. Biayanya tergolong mahal, paling murah Rp 150 ribu dan cuma berlaku dua minggu. Di Bali sudah ada aksi unjuk rasa yang menolak rapid test sebagai persyaratan membuka usaha dan untuk karyawan di sektor pariwisata. Apalagi, para demonstran mengutip para dokter, rapid test itu bukan jaminan seseorang terjangkit Covid-19. Ketentuan ini justru dianggap anomali dengan pembukaan kawasan wisata yang gencar dilakukan itu.
Sudah adakah kajian sejauh mana untungnya membuka kawasan wisata di saat Covid-19 belum jelas? Sulit diketahui apakah wabah corona menurun menuju akhir atau menanjak menuju puncak? Kenapa harus buru-buru? Tidakkah munculnya kluster perkantoran dijadikan pelajaran? Jika kawasan wisata menjadi kluster baru penyebaran Covid-19, ini akan sangat berbahaya. Memulihkan kepercayaan itu sangatlah sulit.
Memang persiapan sudah dilakukan. Protokol kesehatan sudah siap diterapkan di hotel-hotel yang akan menampung wisatawan, termasuk karyawan hotel yang berbekal surat rapid test itu. Namun, turis domestik yang umumnya sudah bosan tinggal di rumah selama empat bulan ini, tentu tak ingin berlibur hanya mendekam di hotel. Mereka ingin keluyuran juga. Apakah tempat-tempat rekreasi dan tempat belanja sudah ketat menerapkan protokol kesehatan? Di situ sang turis akan bertemu masyarakat dari segala lapisan yang disiplinnya memakai masker saja harus digenjot terus. Seharusnya disiplin masyarakat ini yang ditingkatkan sebelum kita membuka kawasan itu untuk sebuah keramaian.