Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kehutanan merespons putusan sela Mahkamah Konstitusi pada November lalu yang isinya melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE).
Putusan sela dibuat dalam sidang perkara uji formil atas UU itu yang diajukan oleh Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan. MK menyatakan menunda pemeriksaan persidangan sampai dengan selesainya persidangan penyelesaian perkara perselisihan hasil pilkada 2024. Karenanya, MK memerintahkan pemerintah atau pihak lain untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU KSDAHE sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi.
Kepala Biro Hukum Kementerian Kehutanan, Supardi, menyatakan kalau kementerian menghormati Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 132-PS/PUU-XXIW2024 tanggal 14 November 2024 tersebut. Meski begitu, kritik disampaikan bahwa Majelis Hakim MK hanya melihat dari salah satu pihak saja, yaitu dari sisi pemohon berdasarkan memori permohonannya. Sedangkan pihak pemerintah, kata Supardi, belum diberikan kesempatan untuk menanggapi permohonan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supardi menunjuk kepada pertimbangan lain dari majelis hakim di luar pertimbangan utama yang memutuskan menunda pemeriksaan pokok perkara uji formil. "Membaca dan memperhatikan pertimbangan yang lain, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sudah mengabulkan legal standing dari para pemohon," kata Supardi melalui jawaban tertulis kepada Tempo, Minggu, 22 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih lanjut, Supardi mengatakan bahwa hingga saat ini proses pembahasan peraturan pelaksanaan UU KSDAHE yang terbaru masih berjalan. Hal itu, menurut dia, tak melanggar putusan sela MK karena belum sampai menerbitkan peraturan pelaksana.
Ia beralasan, penyusunan aturan pelaksana dari UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 itu membutuhkan waktu dan tahapan yang cukup lama, baik penyusunan naskah, konsultasi publik, masukan para pakar, serta proses harmonisasi. "Proses pengesahan tetap menunggu putusan akhir dari Mahkamah Konstitusi," kata Supardi.
Supardi menambahkan, Kementerian Kehutanan juga berkoordinasi dengan Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Hukum dalam merespons putusan sela MK. "Langkah ini sebagai tanggapan dalil-dalil yang ada dalam memori permohonan serta mengumpulkan bukti-bukti keterlibatan masyarakat (meaningful participation) dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024," kata dia.
Sebelumnya, uji formil diajukan oleh Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Constitutional Lawyer Viktor Santoso Tandiasa, Greenpeace Indonesia, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
Koalisi melakukan judicial review karena menilai pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tidak memenuhi asas kejelasan tujuan karena tidak mempertimbangkan subjek hukum, khususnya masyarakat adat yang ada dan hidup di wilayah konservasi. Selain itu, menilai tidak mengutamakan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan yang menggunakan pendekatan sentralistis dan conservationist-developmentalist.
Sehingga koalisi menilai aturan hanya berorientasi pada penguatan aspek pengawetan keanekaragaman hayati, tanpa melihat variabel-variabel lain yang dapat memperbaiki tata kelola kawasan konservasi dan pengelolaan keanekaragaman hayati, seperti partisipasi masyarakat dan pengetahuan tradisional.