Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada Pemilu 2019, sebanyak 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar memutuskan untuk menjadi Golongan Putih alias Golput. Jumlah itu lebih sedikit ketimbang Pemilu 2014 yang mencapai 58,61 juta orang atau 30,22 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas apa itu golput dan bagaimana sanksi bagi mereka yang golput atau mengajak golput orang lain?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makna dan Sejarah Golput
Menurut Nyarwi Ahmad dalam Golput Pasca Orde Baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif (2009), Golongan Putih biasa disingkat Golput memiliki kesamaan arti dengan abstensi dari Bahasa Inggris, abstain, yang berarti menjauhkan diri. Istilah Golput ini merujuk kepada peserta pemilu yang tidak memberikan suara dalam pemilihan umum.
Kemunculan istilah golput ini berawal dari gerakan protes para mahasiswa dan pemuda untuk menentang pelaksanaan Pemilu 1971, Pemilu pertama era Orde Baru. Pesertanya 10 partai politik. Jauh lebih sedikit dibanding Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik. Tokoh yang beken dalam memimpin gerakan ini ialah Arief Budiman. Namun, pencetus istilah golput ini adalah Imam Waluyo, teman Arief.
Digunakan istilah “putih” lantaran gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih pada kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu. Kala itu memang jarang ada yang berani untuk tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara atau TPS karena akan ditandai. Golongan putih kemudian juga dipakai sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.
“Mereka menyeru orang-orang yang tidak mau memilih partai politik dan Golkar untuk menusuk bagian yang putih (yang kosong) di antara sepuluh tanda gambar yang ada,” bunyi kutipan buku Arief Budiman Tukang Kritik Profesional (2020), dilansir dari Aclc.kpk.go.id.
Dikutip dari laman Icjr.go.id, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengungkapkan banyak orang beranggapan golput merupakan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, atau malah merupakan pelanggaran hukum.
Padahal, menurut ICJR baik memilih ataupun tidak memilih, keduanya sama-sama merupakan bagian dari hak politik warga negara. Pasal 28 UUD 1945 menjamin setiap warga negara merdeka untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya.
“Salah satu bentuk turunan dari hak tersebut antara lain adalah hak untuk menyatakan pilihan politiknya dalam pemilihan umum bagi warga negara yang ditetapkan sebagai kategori pemilih dalam pemilu,” tulis ICJR.
Menurut ICJR, setidaknya terdapat dua pandangan yang dapat dikaitkan dengan sikap golput. Pertama, memilih pada hakikatnya merupakan hak yang sifatnya boleh digunakan maupun tidak digunakan. Maka golput dapat diartikan sebagai pilihan seseorang yang tidak menggunakan haknya tersebut. Kedua, merujuk pada ketentuan UUD 1945, maka golput diartikan sebagai bagian dari hak warga negara untuk mengekspresikan pikirannya.
Posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih juga sama sekali bukan merupakan pelanggaran hukum karena tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar. Ketentuan dalam UU Pemilu tidak melarang seseorang menjadi golput. Pidana dalam Pemilu pada dasarnya mengatur mengenai kemungkinan golput. Namun, berdasarkan Pasal 515 UU Pemilu, terdapat unsur-unsur pidana yang sudah diatur dengan jelas kepada siapa pidana itu dapat berlaku.
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah),” bunyi Pasal 515 UU Pemilu.
Atas dasar rumusan pasal ini, maka terdapat catatan penting yang harus diperhatikan, yakni unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih.” Dengan unsur ini maka yang dapat dipidana hanya pihak yang menggerakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya.
“Dengan demikian tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana,” tulis ICJR.
Mengambil sikap golput adalah hak politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum. Sehingga golput tidak bisa dipidana. Demikian juga dengan menyebarluaskan gagasan atau ekspresi tentang pilihan politik tersebut. Kecuali, bila mengajak golput dengan mengimingi uang atau materi, pelaku bisa dipenjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta.