Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mirip golput atau golongan putih era Orde Baru, belakangan ramai di media sosial ihwal gerakan “anak abah tusuk 3 paslon”. Kampanye yang disinyalir diinisiasi pendukung Anies Baswedan ini mengajak pemilih di Jakarta agar mencoblos tiga kotak suara sekaligus. Hal ini buntut gagalnya Anies maju di pemilihan gubernur atau Pilgub Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan kepala daerah atau Pilkada Jakarta hampir dipastikan menghadirkan tiga kandidat pasangan calon atau paslon. Mereka adalah Pramono Anung-Rano Karno, Ridwan Kamil-Suswono, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardhana. Sedangkan Anies batal maju lantaran tak ada partai pendukung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak Abah merupakan sebutan bagi para pendukung Anies. Kampanye mencoblos tiga paslon ini dimaksudkan untuk mengajak pendukung eks Gubernur DKI Jakarta itu agar tetap menggunakan hak suara di Pilkada Jakarta. Namun, di sisi lain, penggunaan hak suara tersebut dimaksudkan untuk merusak surat suara.
Lantas, apakah ajakan golput “anak abah tusuk 3 paslon” ini bisa dikenai pidana?
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sebuah lembaga kajian dan advokasi yang fokus pada reformasi sistem peradilan pidana dan hukum, menilai banyak orang beranggapan golput merupakan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan atau malah merupakan pelanggaran hukum. Padahal, baik memilih ataupun tidak memilih, keduanya sama-sama merupakan bagian dari hak politik warga negara.
Sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945, setiap warga negara merdeka untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Salah satu bentuk turunannya antara lain adalah hak untuk menyatakan pilihan politiknya dalam pemilihan umum atau pemilu.
ICJR berpendapat setidaknya terdapat dua pandangan yang dapat dikaitkan dengan sikap golput. Pertama, memilih pada hakikatnya merupakan hak yang sifatnya boleh digunakan maupun tidak digunakan. Maka golput dapat diartikan sebagai pilihan seseorang yang tidak menggunakan haknya tersebut.
“Kedua, merujuk pada ketentuan UUD 1945, maka golput diartikan sebagai bagian dari hak warga negara untuk mengekspresikan pikirannya,” tulis ICJR dalam laman resminya.
Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memang tak melarang golput. Kendati demikian, ternyata mengajak golput bisa dipidana. Hal ini terjadi apabila terdapat unsur-unsur pidana saat mengajak atau mengampanyekan gerakan golput, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 515.
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah),” demikian bunyi pasal tersebut.
Menurut ICJR, atas dasar rumusan pasal ini, seseorang atau sekelompok orang bisa dipidana apabila ada unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih". Dengan begitu, tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana.
Mengambil sikap golput adalah hak politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum. Demikian juga dengan menyebarluaskan gagasan atau ekspresi tentang pilihan politik seperti gerakan “anak abah tusuk 3 paslon”. Kecuali bila mengajak golput dengan mengimingi uang atau materi, pelaku bisa dipenjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta.
FANI RAMADHANI | ICJR