Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pileg

Permasalahan Sistem Noken dan Jejak Konflik Pemilu di Papua

Sistem noken pemilu di Papua sempat menjadi persoalan bahkan menjadi salah satu akar dari pertumpahan darah.

9 Juli 2023 | 10.10 WIB

Warga mengikuti Pilkada serentak di distrik Kurima, Kabupaten Yahukimo, Papua, 9 Desember 2015. Pemilihan di distrik ini menggunakan sistem noken, khususnya untuk masyarakat Papua yang berasal dari daerah pegunungan. TEMPO/Maria Hasugian
material-symbols:fullscreenPerbesar
Warga mengikuti Pilkada serentak di distrik Kurima, Kabupaten Yahukimo, Papua, 9 Desember 2015. Pemilihan di distrik ini menggunakan sistem noken, khususnya untuk masyarakat Papua yang berasal dari daerah pegunungan. TEMPO/Maria Hasugian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Sejak dilaksanakan pertama kali pada 1971, sistem pemilu khusus noken atau sistem noken di Papua bukan tanpa masalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sistem yang menyerahkan segala hak pilih pada orang-orang tertentu atau tetua dan kepala suku untuk mewakili beberapa suara ini dinilai masih banyak masalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Hal ini disampaikan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Permasalahan yang paling banyak ditemukan dalam sistem noken adalah penentuan dan penjatahan perolehan suara bagi para pasangan calon tidak direkam sebagai sebuah tahapan dalam keputusan KPU. Selain itu, terdapat intervensi kepala suku yang kemudian nantinya menimbulkan sengketa perselisihan di Mahkamah Konstitusi.

Mengutip artikel ilmiah berjudul Analisis Sistem Pemilihan Umum Noken Di Provinsi Papua dalam Prinsip Demokrasi dan Sistem Hukum Nasional yang ditulis oleh Muhammad Malikul Lubbi, selain membuat perselisihan, sistem noken ini juga ternyata menimbulkan diskriminasi antar suku di provinsi papua. Terdapat suku-suku yang suaranya tidak terwakili karena dominasi suku tertentu.

Tidak jarang sistem noken dan pemilu di Papua menghasilkan pertumpahan darah. Dalam Laporan Perludem pada 2016, setidaknya terdapat 12 kasus kerusuhan akibat perbedaan pendapat yang menimbulkan korban jiwa bahkan sampai tewas. Belum lagi kasus keurusuhan yang tidak dilaporkan oleh media. 

Kerusuhan tersebut lazimnya terjadi ketika pihak yang kalah tidak terima dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan faktor utama untuk menjustifikasi penolakan putusan MK adalah karena perdebatan sistem noken.

Selain masih rancunya sistem noken, Perludem berargumen bahwa kerusuhan akibat pemilu di Papua setidaknya disebabkan tiga faktor.

Pertama, adanya mobilisasi massa oleh pihak yang kalah atau dirugikan. Kedua, massa membawa senjata tajam. Ketiga, respon spontanitas massa akibat ketidakpuasan massa terhadap paslon atau partai tertentu.

Direktur Perludem Titi Angraini mengatakan bahwa pemangku kepentingan pemilu harus dapat meredam alasan bergeraknya massa sehingga dapat memutus rantai awal suatu kerusuhan. Di samping itu, KPU juga perlu mengatur penggunaan sistem noken melalui Peraturan KPU secara komprehensif, rinci, dan terverifikasi.

"Prinsip pemilu jujur dan adil mesti tetap terjaga meski menggunakan sistem noken," kata Direktur Perludem Titi Anggraini dalam diskusi peluncuran buku Tambal Sulam Sistem Noken di D Hotel, Jakarta Selatan, Sabtu, 31 Maret 2018.

Anggota Komnas HAM Amirrudin Al Rahab menegaskan bahwa pemilu dengan sistem noken pasti akan ada masalah, tetapi sistem noken belum bisa diganti selama infrastruktur pemilu belum diperbaiki.

“Kondisi di Jawa dan Papua berbeda. Mesti ada infrastruktur pemilu yang memadai dan mengubah sistem noken ke sistem nasional,” ujar Amirrudin.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus