Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VIDEO itu hanya berdurasi 10 menit. Gambarnya tidak fokus dan sesekali bergoyang. Tampak benar bahwa si perekam bukan orang yang lihai memainkan kamera telepon seluler. Meski amatiran, tayangan singkat itu membuat terenyak.
Dalam video amatir itu, dua orang Papua tampak dikelilingi sekelompok tentara tanpa seragam dinas. Satu tentara sempat tertangkap kamera, memakai jaket loreng dengan emblem merah-putih. Ada juga yang bercelana training biru bergaris putih—seperti yang biasa dikenakan anggota TNI.
Tak ada yang istimewa pada menit-menit pertama video. Kedua korban hanya dibentak dan diminta menjawab sejumlah pertanyaan tentang senjata-senjata yang disembunyikan. Namun lama-lama ”interogasi” bertambah keras. Kepala salah satu korban diinjak keras-keras, sementara korban lain diancam dengan sebuah golok yang ditempelkan tepat di bawah hidung. Kemudian sebuah adegan brutal: seorang tentara menyundut kemaluan korban dengan kayu bekas api unggun yang masih membara. Pria Papua itu menjerit.
Berawal dari situs media sosial YouTube, video itu segera ramai diberitakan di seluruh dunia. Stasiun televisi CNN dan Al-Jazeera berulang-ulang menayangkan cuplikannya dan mempertanyakan komitmen pemerintah Indonesia pada hak asasi manusia. Sejumlah organisasi hak asasi internasional mengutuk tentara Indonesia.
Tak sampai seminggu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bereaksi. Jumat dua pekan lalu, dia memanggil Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Marsekal (Purn.) Djoko Suyanto dan sejumlah menteri lain ke Istana Merdeka. Pada akhir pertemuan, Djoko menyatakan video itu asli dan pelaku penyiksaan adalah prajurit TNI.
”Kejadian itu benar, pelakunya anggota militer. Ada tindakan para prajurit di lapangan yang berlebihan dalam mengelola mereka yang ditangkap,” kata Djoko. Dia memastikan penyelidikan akan dilakukan dan pelakunya bakal dihukum setimpal.
Di Jayapura, pernyataan Menteri Djoko Suyanto disambut unjuk rasa. Kamis pekan lalu, ribuan orang turun ke jalan. Menamakan diri Komite Nasional Papua Barat, demonstran membawa puluhan poster bergambar korban penyiksaan aparat keamanan dan beberapa spanduk berisi desakan agar pengusutan segera dilakukan.
Selain massa yang berjalan kaki, belasan truk dan sepeda motor ikut mengiringi di belakang para demonstran. Aksi dipusatkan di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua. ”Ini bukan kejadian sepele. Kami minta pelaku penyiksaan dihukum berat,” kata juru bicara Komite, Mako Tabuni.
Yoseph Adi Prasetyo, Wakil Ketua Komnas HAM, memastikan bahwa lembaganya sudah mengantongi data tempat kejadian, korban, maupun pelakunya. ”Sudah ada tim yang melakukan investigasi pendahuluan,” katanya Rabu pekan lalu.
Peristiwa penyiksaan dalam video, kata Adi Prasetyo, terjadi di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya. ”Saat ini ada empat orang tentara yang disangka sebagai pelaku,” katanya. Para tersangka ditahan di Polisi Militer Kodam Cenderawasih.
Sumber Tempo menduga pelaku adalah anggota Batalion 753/Kostrad yang bermarkas di Nabire. Pasukan itu sekarang memang ditempatkan di Tingginambut. Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Letkol Susilo menolak memberikan konfirmasi, tapi membenarkan ada tersangka pelaku penyiksaan yang sudah ditahan. ”Mereka sedang diperiksa tim dari Mabes TNI,” katanya.
Korban penyiksaan itu diduga bernama Tunaliwor Kiwo, 50 tahun, dan Telangga Gire, 30 tahun. Keduanya warga Tingginambut. Mereka ditangkap tatkala melintasi pos penjagaan TNI di Kampung Gurage atau Kampung Nalime pada 30 Mei lalu.
Sejumlah sumber Tempo menuturkan bahwa penangkapan itu berawal dari pemeriksaan rutin yang dilakukan tentara di sepanjang jalan dari Wamena menuju Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya. Saat diperiksa, ternyata Tunaliwor Kiwo memiliki dua kartu tanda penduduk. KTP pertama berisi foto Kiwo dengan rambut panjang serta berkumis, sementara kartu lainnya berisi fotonya dengan rambut pendek dan tanpa kumis. Hanya karena inilah, dia dituduh sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka.
Kiwo dan Gire, yang tidak fasih berbahasa Indonesia, langsung ditahan dan disiksa. ”Padahal dia tidak bermaksud menipu. Ada KTP baru dan ada KTP lama,” kata seorang pendeta di Puncak Jaya, yang mengenal kedua korban.
Peristiwa penyiksaan macam ini sejatinya bukan yang pertama. Di Puncak Jaya, menurut sejumlah warga kepada Tempo, puluhan kasus sejenis—pemukulan, pembakaran rumah, juga pemerkosaan—pernah terjadi. Sejumlah saksi mata yang ditemui Tempo membenarkan laporan tentang tindakan brutal aparat keamanan di Distrik Tingginambut ini.
Akibat terus diperlakukan sewenang-wenang, sebagian besar warga Kampung Gurage melarikan diri ke hutan. ”Banyak kampung di Distrik Tingginambut sudah kosong ditinggal warganya,” kata sumber Tempo.
Bupati Puncak Jaya, Lukas Enembe, membenarkan kabar ini. ”Kenapa baru sekarang orang-orang terkejut? Penyiksaan seperti di video itu sudah lama terjadi di Papua,” katanya. Dia mengakui bahwa pemicu insiden adalah penempatan pasukan TNI dan Brimob di sekitar Tingginambut. ”Saya sudah minta berkali-kali kepada TNI, tolong bedakan warga biasa dengan OPM,” katanya kesal.
Menurut Lukas, saat ini ada lebih dari 300 prajurit TNI dan polisi berjaga di wilayahnya. Mereka membangun sedikitnya lima pos penjagaan di sepanjang jalur Wamena-Mulia dan rutin berpatroli. ”TNI dan polisi sedang mengejar sekitar 500 anggota OPM yang diduga punya 30 pucuk senjata,” kata Lukas.
Lukas membantah operasi keamanan itu dilakukan atas permintaan pemerintah kabupaten. ”Kalau ada gangguan keamanan oleh OPM, tentu TNI berhak mengejar. Tidak perlu menunggu diundang Bupati,” katanya ketus. Namun dia mengakui pemerintah kabupaten menganggarkan Rp 3 miliar setiap bulan untuk membeli makanan pasukan TNI/Polri di wilayahnya.
Upaya Tempo menelusuri langsung peristiwa penyiksaan di Tingginambut terhalang oleh ketatnya penjagaan di wilayah itu. ”Mau ke mana?” bentak seorang polisi di pos pertama pemeriksaan. Saat Tempo menjawab hendak pergi ke Tingginambut, si polisi mengibaskan tangan, ”Bahaya. Kalian pulang saja.”
Setiap orang yang hendak pergi ke Tingginambut diminta menunjukkan KTP dan menjelaskan tujuannya. Semua barang bawaan pun mesti dibongkar. Kadang pakaian harus dibuka. ”Kalau ada yang dicurigai, kami langsung dipukul atau dipopor dengan senjata,” kata seorang warga. Semua pemeriksaan dilakukan aparat dengan senjata terkokang yang diarahkan ke mereka.
Setiap pos penjagaan dikelilingi dengan tumpukan karung pasir dan kawat berduri. Di belakang pos, ada sejumlah bangunan dari kayu. Penduduk yang dicurigai terlibat OPM biasanya ditahan di sana. Satu pos dijaga puluhan tentara atau polisi. ”Cara mereka bertanya selalu kasar,” kata warga lain yang ditemui Tempo di Puncak Jaya.
Komnas HAM mengaku sudah menerima laporan tentang kekerasan di Tingginambut. ”Kami minta operasi keamanan di sana dihentikan dulu untuk memberikan kesempatan kami melakukan investigasi ada-tidaknya pelanggaran HAM berat,” kata Yoseph Adi Prasetyo. ”Kalau terbukti, Pangdam Cenderawasih harus bertanggung jawab,” katanya lagi.
Tindakan Komnas HAM didukung Komisi Pertahanan DPR. ”Saya akan minta agar pencairan anggaran TNI ditunda sampai kasus ini tuntas,” kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Effendy Choirie. ”Pelaku dan komandannya harus diusut. Ini jelas pelanggaran berat.”
Wahyu Dhyatmika (Jakarta), Jerry Omona (Puncak Jaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo