Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapal riset Baruna Jaya III bergegas meninggalkan Tanjung Priok menuju perairan Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pertengahan Agustus lalu. Bukan tanpa alasan kapal berbiaya operasional Rp 50 juta per hari ini membelah lautan menuju tempat yang jauh. Salah satu tujuannya adalah memperbaiki pelampung pendeteksi tsunami atau buoy Indonesia yang dipasang di tengah-tengah perairan dangkal antara Kepulauan Mentawai dan pantai Padang.
Buoy Indonesia atau dikenal sebagai buoy Sangkuriang berfungsi mengirimkan data peringatan tsunami dari laut ke satelit. Data diperoleh dari ocean bottom unit (OBU) yang ditanam di kedalaman sekitar 2.000 meter. Ibarat sejoli, OBU dan pelampung-pelampung itu bekerja sama menginformasikan tsunami secara real time. Tanpa pelampung, OBU yang merekam data permukaan laut mustahil menyampaikan informasi tsunami lewat satelit. Pendeteksi tsunami canggih buatan anak bangsa ini di pasar dihargai Rp 4,5-6 miliar.
Itulah yang menjadikan perjalanan Baruna Jaya III penting. Fungsi sistem peringatan dini di kawasan Kepulauan Mentawai—dan Sumatera Barat—perlu disempurnakan. Sejak pelampung di Pulau Siberut ngadat, data anomali ketinggian muka laut di sekitar Kepulauan Mentawai tak bisa terkirim real time ke stasiun data tsunami di kantor Balai Teknologi Survei Kelautan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.
Gangguan itu bisa berakibat fatal. Kepastian datangnya tsunami di kawasan cakupan pelampung atau tepatnya di tengah laut dipastikan tetap misterius.
Memang, dari data kegempaan melalui 160 alat pendeteksi (seismometer) milik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang tersebar di Indonesia, potensi terjadinya tsunami bisa diprediksi sebatas perkiraan saja. Misalnya gempa bumi 7,3 skala Richter di 142 kilometer sebelah barat daya Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 3 September 2009. BMKG menyampaikan peringatan dini tsunami, tapi satu jam kemudian mencabutnya dan menyatakan tidak ada tsunami.
Sistem pengamatan tsunami lainnya dilakukan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional lewat alat pendeteksi tide gauge yang dipasang di pantai. Karena letaknya di bibir pantai, kepastian tsunami pun hanya terdeteksi saat air telah mencapai bibir pantai—dan ini berarti sudah terlambat.
Berbeda dengan kedua cara itu, pelampung, yang dipasang di laut, langsung memantau perilaku air laut. ”Buoy mampu memberikan kepastian ada-tidaknya tsunami secepatnya,” kata Manajer Program Buoy Tsunami Indonesia Djoko Hartoyo, Rabu pekan lalu. Data yang dikirim pelampung bukan prediksi, melainkan data real time perubahan anomali laut sebagai tanda terjadinya tsunami.
Agar lekas mencapai tujuan dan perbaikan bisa dilakukan, Baruna Jaya mengebut. Berkecepatan maksimal 10 knot (18 kilometer per jam), kapal riset sepanjang 60 meter ini mencapai lokasi pelampung dalam empat hari. Tapi segera diketahui bahwa sensor tsunami pelampung tak berfungsi. ”Ada yang melakukan vandalisme, antenanya (buoy) dirusak,” kata Djoko. Perbaikan pun urung dilakukan karena BPPT tak punya suku cadang. Akhirnya, pelampung diputuskan dibawa ke Jakarta.
Nahas, sampai tsunami menggulung Mentawai pada Senin malam pekan lalu, Sangkuriang, si pendeteksi tsunami, masih tergeletak di Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur, Puspiptek, Serpong, Tangerang. Laiknya pendekar yang sedang bertapa, Sangkuriang tak bisa mengeluarkan jurus saat tsunami terjadi. ”Ketersediaan anggaran salah satu penyebabnya juga,” ujar Djoko. Tapi yang paling utama adalah perusakan atau pencurian oleh orang yang tak bertanggung jawab. Akibatnya, perbaikan harus dilakukan terus-menerus. Padahal, dalam satu tahun, sejatinya Sangkuriang hanya butuh penggantian baterai antena.
Kepala Balai Survei Teknologi Kelautan BPPT Yudi Anantasena mengatakan bukan kali ini saja terjadi perusakan pelampung. ”Baruna Jaya sudah bolak-balik melakukan perbaikan,” ujarnya. Hasilnya tetap sama—dicuri dan dirusak lagi. Bahkan pelampung milik Amerika Serikat dan Jerman pernah dicuri dan terlacak di Muara Baru, Jakarta Utara. Kini, dari sembilan pelampung buatan BPPT yang disebar di Indonesia, hanya tersisa tiga, yaitu di Pulau Simeulue (Aceh), Cilacap, dan Halmahera. Ketiga alat yang masih aktif ini luput mendeteksi tsunami di Mentawai. Bukan karena tidak berfungsi, melainkan karena gelombang tsunami tak sampai ke lokasi ketiga pelampung itu. ”Idealnya buoy dipasang tiap 200 kilometer,” kata Yudi.
Tsunami Mentawai baru terendus pelampung pendeteksi di Pulau Andaman, India, hampir dua jam setelah gempa dan tsunami terjadi. Tide gauge di pantai Teluk Bayur, Padang, pun mengendus tsunami sejam setelah gempa atau sekitar 50 menit setelah ombak menyapu Pulau Pagai. ”Saat itu tidak ada Sangkuriang yang melindungi Kepulauan Mentawai,” ujar Djoko.
Padahal dua tahun lalu, tepatnya November 2008, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Indonesia Tsunami Early Warning, sedikitnya ada 23 pelampung. Ini termasuk pelampung buatan BPPT dan sumbangan luar negeri, seperti Jerman, Amerika, Australia, dan Malaysia. Pelampung-pelampung itu dipasang untuk melindungi kawasan Samudra Hindia dan Pasifik dari gempuran air pasang akibat tumbukan di lempeng Indo-Australia. Kata Presiden waktu itu, karena sistem peringatan dini tsunami beroperasi 24 jam terus-menerus, diperlukan pemeliharaan yang intensif.
Tapi masalah muncul. Hingga kini, sepuluh buoy sumbangan Jerman hanya menjadi pajangan karena tak terhubung dengan satelit yang bisa mengirim pesan lewat sirene secara otomatis laiknya buoy buatan BPPT (lihat gambar). ”Mudah-mudahan akhir tahun ini bisa dilakukan serah-terima dari Jerman,” ujar Yudi.
Kecaman datang dari berbagai pihak, mengingat gempa dan tsunami masih mengancam Indonesia. Para ilmuwan telah mengingatkan gempa 8,8 skala Richter atau megathrust bisa terjadi kapan saja di kawasan Sumatera Barat. Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso, peringatan dini tsunami penting. ”Pemerintah seharusnya bisa memprioritaskan pemeliharaan alat tanggap bencana,” katanya.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami, Fauzi, mengatakan sistem peringatan dini bencana di Indonesia sebenarnya sudah berjalan. BMKG tak pernah lupa menginformasikan potensi tsunami kepada masyarakat. ”Paling lama lima menit setelah gempa,” kata Fauzi. Syaratnya, gempanya harus berkekuatan di atas 7 skala Richter, berlokasi di laut dangkal, dan kedalamannya kurang dari 70 kilometer.
Masalahnya, setelah itu, tinggal pemerintah daerah yang harus punya kesiapsediaan prabencana. Bukan sekadar tanggap darurat yang dilakukan setelah nyawa manusia melayang.
Rudy Prasetyo
Sistem Kerja Pendeteksi Tsunami
Pelampung-pelampung sistem peringatan dini tsunami beroperasi 24 jam terus-menerus untuk melindungi kawasan Samudra Hindia dan Pasifik dari gempuran air pasang akibat tumbukan di lempeng Indo-Australia.
OBU
Sistem peringatan dini tsunami dipasang di dasar laut.
1. Sensor tekanan pada OBU merekam anomali air di bawah permukaan laut.
Dalam kondisi normal, data dikirim tiap jam. Adapun saat tsunami, data dikirim per menit.
2. Data yang direkam OBU ditangkap buoy untuk diteruskan lewat satelit.
3. Data peringatan tsunami real time diterima pusat data tsunami BPPT disertai alarm yang kuat.
4. BMKG dan komunitas global pun menangkapnya dalam waktu bersamaan.
5. BMKG wajib menyiarkannya kepada masyarakat dan pemerintah pusat/daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo