Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>PATUNG Buddha</B></font><BR />Amitabha Mendongkrak Suara

Rencana penurunan patung Buddha di Tanjungbalai masih tersendat. Terkait pemilihan kepala daerah.

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP pagi Haidir bin Misran memarkir becak bermotornya tak jauh dari Vihara Tri Ratna di tepi Sungai Asahan, Tanjungbalai, Sumatera Utara. Kamis pekan lalu, perhatiannya tertuju ke patung Buddha yang menjulang di atap vihara. ”Buat apa patung tuh, hanya gagah-gagahan saja,” katanya. Sebaliknya, penarik becak lainnya, Wasdi, tak merasa terganggu. ”Bagimu agamamu, bagiku agamaku,” katanya, mengutip selarik ayat Al-Quran.

Patung yang ”dibahas” dua penarik becak ini bernama patung Amitabha. Pekan lalu, Pemerintah Kota Tanjungbalai menyurati pengurus vihara agar menurunkan arca Buddha itu. Padahal patung setinggi enam meter ini baru saja didatangkan dari Bandung, menjadi pemanis proyek pemugaran bangunan zaman kolonial yang sejak 1984 dijadikan rumah ibadah tersebut.

Renovasi berlangsung empat tahun, sejak 2005, dan selama itu situasi adem ayem belaka. Mendadak, pada Juni lalu, Gerakan Islam Bersatu unjuk rasa di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tanjungbalai, menuntut Amitabha diturunkan. Surya Abdil Lubis, ketua gerakan itu, menyatakan pendirian patung belum direstui umat Islam, yang mayoritas penduduk Tanjungbalai.

Vihara memang berizin, tapi patung itu tidak, kata Surya, yang kini Ketua Front Pembela Islam Tanjungbalai. Protes itu diteruskan ke pemerintah kota. Namun, ”Patung itu urusan agama, itu wewenang pemerintah pusat,” kata Wali Kota Sutrisno. Baik pemrotes maupun pengurus vihara sama-sama beperkara ke Kementerian Agama. ”Kami menunjukkan bukti perizinan,” kata Pengurus Harian Vihara Tri Ratna, Leo Lopulisa.

Keputusan akhir Kementerian Agama disampaikan lewat surat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Budi Setiawan. Budi, yang ikut meresmikan Vihara Tri Ratna, menyatakan tak ada masalah dengan patung sehingga tak perlu dipindahkan. Namun gelombang protes berlanjut. Agustus lalu, Wali Kota Sutrisno mengumpulkan kubu yang pro dan kontra di kantornya. Hasilnya: patung harus turun. ”Itu kesepakatan bersama,” kata Sutrisno.

Pengurus vihara merasa terperangkap dalam pertemuan itu. ”Semua yang datang minta pemindahan patung,” kata Leo Lopulisa. ”Tidak ada satu pun yang membela kami.” Meski surat kesepakatan penurunan patung sudah diteken, Leo menyatakan patung tak akan dibongkar. Pengurus vihara berencana mencari dukungan ke Medan dan Jakarta.

Aliansi Sumatera Utara Bersatu, yang giat mengkampanyekan pluralisme, menilai ada motif politik di balik desakan menurunkan patung. ”Ini ada kaitannya dengan pemilihan kepala daerah,” kata Veryanto Sihotang, direktur aliansi itu. Ia menjelaskan, ribut-ribut patung Amitabha terjadi menjelang pemilihan Wali Kota Tanjungbalai. Putra Sutrisno Hadi, Eka Hadi Sucipto, menjadi salah satu calon. ”Perintah penurunan patung bertujuan menarik suara pemilih dari kalangan Islam konservatif.”

Sumber Tempo menceritakan ada gerakan mengarahkan suara kepada yang berhasil menurunkan patung. Hasil pencoblosan memang memenangkan Eka.

Namun, akhir September lalu, Mahkamah Konstitusi menganulirnya dengan alasan ada kecurangan yang dilakukan pasangan Eka-Afrizal. Mahkamah meminta pemungutan suara diulang di 17 kelurahan, yang mesti selesai pada November. Setelah putusan itu, ribut-ribut tentang patung merebak lagi.

Sutrisno menampik tudingan itu. Penurunan patung, katanya, merupakan desakan masyarakat yang disampaikan lewat anggota Dewan. ”Saya sebagai kepala daerah hanya mengakomodasi keinginan masyarakat,” katanya. Surya Abdil Lubis mengklaim jumlah pemrotes patung yang dikoordinasinya mencapai seribu orang, meliputi simpatisan Front Pembela Islam, ulama, dan remaja masjid.

Rupanya, seribu orang itu tak termasuk Muslim Panjaitan, yang sejak kecil tinggal sepelemparan batu dari vihara. Ia menyatakan heran warga Tanjungbalai mana yang diklaim wali kota dan Gerakan Islam memprotes patung. Meski patung besar itu terlihat jelas dari rumahnya, Muslim merasa tak terganggu. ”Saya heran kenapa sekarang ribut,” katanya. ”Kalau mau protes, kenapa tidak dulu, sewaktu patung dinaikkan.”

Oktamandjaya Wiguna, Soetana Monang Hasibuan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus