Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Satgas Mafia Hukum</B></font><BR />Siapa di Balik Penggugat Satgas

Sejumlah aktivis menggugat keberadaan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Presiden Yudhoyono. Dicurigai pesanan pengusaha bermasalah.

5 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATUAN Tugas Pemberantasan Mafia Hukum punya pekerjaan baru. Selain menerima pengaduan masyarakat mengenai makelar kasus dan penyimpangan kewenangan aparat penegak hukum, lembaga ad hoc yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu sekarang harus pula berjuang mempertahankan keberadaannya sendiri. Akhir Juni lalu, dasar hukum pembentukan satuan tugas ini dipersoalkan di Mahkamah Agung.

Penggugatnya adalah Haris Rusly Moti, bekas Ketua Partai Rakyat Demokratik yang kini aktif dalam Petisi 28. Sejak berdiri pada Oktober 2009, kumpulan sejumlah lembaga swadaya masyarakat itu sudah gencar mengkritik kebijakan Presiden Yudhoyono.

Haris didampingi dua advokat muda: Catur Agus Saptono dan Ahmad Suryono. ”Semula, kami ingin Petisi 28 yang mengajukan gugatan. Namun, karena Petisi belum berbadan hukum, saya yang maju sebagai perorangan,” kata Haris pekan lalu. Mahkamah Agung saat ini tengah mengkaji permohonan uji materi ini. ”Saya belum tahu jadwal sidangnya,” kata juru bicara Mahkamah Agung, Hatta Ali, pekan lalu.

Maju terus atau ditolak, gugatan ini sudah bikin berita. Hampir semua anggota Satgas mengaku heran atas gugatan Haris. ”Saya takjub juga. Jangan sampai para pemohon terjebak dan dipakai untuk kepentingan lain,” kata Sekretaris Satgas yang juga Staf Khusus Presiden Yudhoyono, Denny Indrayana, dua pekan lalu.

Kepentingan ”lain” yang dikhawatirkan Denny tentu berasal dari para makelar kasus dan pengusaha bermasalah. Sejak keputusan presiden tentang pembentukan satuan tugas itu ditandatangani pada akhir tahun lalu, sepak terjang lembaga ini cukup menarik perhatian. Tak sedikit pihak yang gerah setelah jadi bulan-bulanan Satgas.

Dua pekan setelah dibentuk, pertengahan Januari lalu, Satgas turun tangan memergoki pemakaian fasilitas mewah oleh narapidana kasus suap, Artalyta Suryani, di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dua bulan kemudian, mereka membongkar dugaan kongkalikong polisi-jaksa-hakim-advokat dalam kasus Gayus Tambunan. Eks pegawai pajak ini lolos dari jerat hukum, meski jelas-jelas tak bisa menjelaskan asal-usul kekayaannya yang bejibun.

Belakangan ini Satgas sibuk menelisik dugaan mafia kasus dalam perkara pertambangan batu bara di Kalimantan. Terakhir, dua pekan lalu, Satgas menerima pengaduan Indonesia Corruption Watch tentang sejumlah rekening mencurigakan milik perwira tinggi polisi.

Haris tak mengakui peran Satgas ini. ”Kasus Ayin dan Gayus itu bukan prestasi mereka,” katanya ketika ditemui di Doekoen Kafe—kedai minum di Pancoran, Jakarta Selatan, yang sering digunakan sebagai tempat diskusi Petisi 28. ”Apakah ada pejabat Kementerian Hukum yang diganti karena membiarkan Ayin tinggal di sel mewah?” dia balik bertanya.

Tentang kasus Gayus, Haris tak kalah sengit. ”Susno Duadji yang membongkar kasus Gayus, bukan Satgas,” katanya. Sebelum dikembangkan Satgas, informasi tentang makelar kasus dalam penyidikan perkara pencucian uang Gayus memang muncul dari pengakuan Komisaris Jenderal (Polisi) Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. ”Apa Satgas bisa disebut berhasil jika Susno sekarang malah ditahan polisi?”

Pendeknya, Haris menilai keberadaan Satgas hanya bagian dari politik pencitraan Presiden Yudhoyono. ”Lembaga ini berusaha mengambil alih peran Komisi Pemberantasan Korupsi, yang melemah akibat Jaksa Agung tak tegas melakukan deponering kasus Bibit-Chandra,” katanya lagi. ”Mereka juga tumpul kalau berhadapan dengan kasus yang terkait Istana, seperti skandal Bank Century,” katanya lagi.

Catur Agus Saptono, kuasa hukum Haris, menegaskan bahwa sasaran utama gugatan ini bukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, melainkan Presiden Yudhoyono. ”Kalau SBY ingin memberantas korupsi, dia tinggal meminta Kapolri dan Jaksa Agung,” katanya. ”Tidak perlu membentuk lembaga baru.” Catur menilai saat ini terjadi krisis ketatanegaraan akibat banyaknya komisi ad hoc di luar lembaga resmi negara.

Selain itu, keberadaan Satgas, menurut Catur, berpotensi melanggar hukum dan mengintervensi proses peradilan. Dia mencontohkan tindakan anggota Satgas memantau sejumlah sidang dengan hadir secara langsung di pengadilan. ”Hakim bisa terintimidasi,” katanya. Posisi Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Hussein sebagai anggota Satgas juga dinilai bermasalah. ”Ada indikasi kebocoran dokumen lembaran hasil analisis transaksi keuangan, yang seharusnya rahasia,” katanya.

Tudingan Catur ditolak mentah-mentah. ”Wewenang kami terbatas dan tidak bersifat proyustisia,” kata Denny Indrayana. Seperti tertera dalam Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009, tugas Satgas adalah ”melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan agar upaya pemberantasan mafia hukum lebih efektif”. Satgas juga membantah tudingan mandul jika menangani kasus yang berkaitan dengan Istana. ”Kami obyektif dan tidak pandang bulu,” kata Mas Achmad Santosa, anggota Satgas yang lain.

Ngotot-nya Petisi 28 menggugat Satgas memantik pertanyaan: siapa di balik mereka? Tak jelas, meski latar belakang para penggugat bukan tak meninggalkan ”jejak”. Haris Rusly, misalnya, pernah aktif di Dewan Ketahanan Nasional, tiga tahun lalu.

”Saya memang pernah diminta membantu Letnan Jenderal (Purn.) M. Yasin, Sekjen Dewan saat itu,” kata Haris. Yasin, yang sempat dikenal dekat dengan SBY, kini mendirikan Partai Karya Perjuangan. Pada Pemilihan Umum 2009, partai itu mendukung Megawati Soekarnoputri. ”Sejak akhir 2007, saya sudah menjadi oposisi pemerintahan SBY,” kata Haris.

Kuasa hukum Haris, Catur Agus, disebut-sebut dekat dengan pengusaha perkebunan sawit, D.L. Sitorus. Pemilik PT Torganda ini pernah divonis delapan tahun penjara dalam kasus penyalahgunaan kawasan hutan di Padang Lawas, Sumatera Utara. Terakhir, Sitorus ditahan KPK pada awal Mei lalu, dengan tuduhan menyuap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

”Saya tidak dekat dengan D.L. Sitorus. Saya kenal anaknya, Sihar Sitorus,” kata Catur pekan lalu. Kedekatan itu berawal dari aktivitas Catur di Partai Peduli Rakyat Nasional, yang didirikan keluarga Sitorus dan Amelia Yani, putri Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani. ”Saya memang sempat jadi calon legislator untuk partai itu,” katanya. Namun Catur memastikan dia tidak pernah jadi pembela kasus korupsi. ”Sejak mahasiswa, saya sudah aktif dalam gerakan antikorupsi,” katanya.

Haris Rusly menepis tuduhan bahwa gugatan mereka adalah pesanan pihak yang sakit hati dengan gebrakan Satgas. ”Bisa saja ada pihak yang diuntungkan dari gugatan ini, tapi itu bukan urusan kami,” katanya tegas.

Wahyu Dhyatmika, Anton Septian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus