Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat terbelah. Ada ”kelompok tujuh”, ada pula ”kelompok dua”. Pangkal perdebatan adalah ketentuan soal anggota penyelenggara pemilihan dari partai politik. ”Sejak awal dua kelompok ini sudah terbentuk,” kata Ganjar Pranowo, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ketua panitia kerja itu, Kamis pekan lalu.
”Kelompok tujuh” terdiri atas Partai Golkar, PDIP, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Mereka berkukuh politikus boleh menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum. Kelompok lain, yang menganggap politikus tabu masuk penyelenggara pemilu, merupakan gabungan Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional.
Dalam rancangan yang sedang dibahas, ketentuan itu tercantum dalam pasal 11 huruf i. Di situ disebutkan syarat anggota Komisi Pemilu adalah tidak pernah menjadi anggota partai politik, dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah. Pada pasal yang sama tertulis, syarat anggota adalah ”sekurang-kurangnya dalam jangka waktu lima tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik, dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan”.
”Kelompok tujuh” mengusulkan aturan itu dihapus. Sebagai gantinya, menurut Ganjar, ada aturan yang membolehkan anggota partai politik mendaftar menjadi calon anggota Komisi Pemilu. Dengan catatan, setelah terpilih, mereka bersedia mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik.
Sementara itu, Demokrat dan PAN berkeras tidak bersedia. ”Kami ingin tetap independen dan nonpartisan, salah satunya dengan bukan orang partai politik,” kata anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, M. Djufrie.
Partai Demokrat dan PAN, di kelompok yang lain, menganggap haram masuknya ”orang parpol” dalam KPU. Abdul Hakim Naja, politikus PAN, merujuk pada pengalaman 1999. Ketika itu, Komisi Pemilu terdiri atas perwakilan semua partai politik pesertanya. ”Berdasarkan pengalaman saya, susah,” kata Hakam, yang pada 1999 mewakili partai di KPU.
PADA pemilu tahun lalu, perolehan suara Partai Golkar dan PDIP turun drastis. Dari sekitar 21 persen pada 2004, Golkar hanya memperoleh sekitar 14,5 persen pada pemilu tahun lalu. Adapun perolehan suara PDIP melorot dari 20 persen pada 2004 menjadi sekitar 14 persen.
Dua partai kawakan itu dikalahkan Partai Demokrat. Partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2001 tersebut menjadi pemenang. Naik hampir tiga kali lipat dari perolehan suara 2004, Partai Demokrat meraih lebih dari 20 persen suara.
Di luar Partai Demokrat, partai-partai menganggap penyelenggaraan pemilu yang buruk sebagai penyebab kekalahan mereka. Daftar pemilih yang amburadul dituding sebagai biang masalah. ”Kami menyimpulkan pelaksanaan pemilu tahun lalu jelek,” kata Ganjar. Ia menyatakan punya banyak bukti yang berhubungan dengan melonjaknya suara Demokrat.
Menurut Ganjar, anggota Komisi Pemilu tak kredibel. Ditarik lebih ke hulu, hal itu disebabkan oleh kegagalan panitia seleksi bentukan pemerintah menyodorkan calon yang bagus. Sayangnya, ia menambahkan, Undang-Undang Pemilu tidak mampu mengatasi persoalan itu.
Agoes Poernomo dari PKS menambahkan, pembahasan undang-undang buat penyelenggaraan pemilu tahun lalu juga terlambat. Akibatnya, ia mengatakan, ”Semua menjadi terlambat: seleksi anggota KPU terlambat, seleksi Badan Pengawas Pemilu terlambat, Pengawas Pemilihan Lapangan terlambat, dan pemutakhiran data tidak diawasi.”
Itu sebabnya, perubahan aturan buat Pemilu 2014 segera dibahas. Undang-Undang Pemilu merupakan prioritas legislasi Dewan tahun ini. Enam bulan sejak dibentuk panitia kerja, kini perdebatan masih berkutat pada syarat anggota Komisi Pemilu.
Untuk panitia seleksi anggota Komisi Pemilu, ”kelompok tujuh” ingin dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun ”kelompok dua” berpendapat panitia seleksi merupakan tanggung jawab Presiden. ”Kelompok tujuh” mencoba jalan tengah: Presiden dan Dewan membentuk panitia bersama, dengan lima anggota dikirim Presiden dan lima ditentukan Dewan. Unsur gender pun dimasukkan dalam usul ”kelompok tujuh”. ”Kelompok dua” bergeming, sehingga ”kelompok tujuh” mundur. ”Kami kasih, pembentukan panitia seleksi dilakukan Presiden,” ujar Ganjar.
Menurut Ganjar, kubunya berharap ada barter. Dalam hal ini, ”kelompok tujuh” berharap ”kelompok dua” mengalah soal syarat anggota Komisi Pemilu dari partai politik. Gayung tak bersambut. ”Kelompok tujuh” menurunkan tuntutan. Mereka mengubah usul syarat: politikus boleh mendaftar jadi anggota Komisi Pemilu asalkan melepas posisinya di kepengurusan partai lebih dulu. ”Jadi yang mendaftar individu, bukan wakil partai,” kata Agoes.
Demokrat dan PAN tak surut langkah. ”Meski bukan utusan parpol, integritas dan independensinya perlu dipertanyakan,” kata Djufrie. ”Apalagi, kalau sekarang anggota partai dan besok mundur setelah mendaftar, itu kan main-main.”
Menurut Ganjar, ”kelompok tujuh” sebenarnya hendak mengalah. Tapi mereka merujuk pada Andi Nurpati, yang masuk kepengurusan Partai Demokrat ketika masih aktif menjadi anggota Komisi Pemilu. ”Kalau anggota partai tidak boleh masuk KPU, bagaimana anggota KPU bisa masuk partai?” kata Ganjar.
Partai-partai pendukung Yudhoyono di ”kelompok tujuh”—PKS, PPP, dan PKB—memperluas lobi ke Sekretariat Gabungan Koalisi. Agoes mengatakan, dalam rapat Jumat beberapa pekan lalu, dia menjelaskan kepada pemimpin Demokrat dan PAN. ”Bedanya hanya selembar kertas,” kata Agoes. Sementara dalam syarat awal tertulis, ada keterangan dari partai bahwa calon tidak aktif di partainya selama lima tahun, kini diubah menjadi surat pernyataan dibuat sang calon. ”Bahwa dia telah melepas kepengurusan atau keanggotaan di partai,” ujar Agoes. Menurut dia, Demokrat mulai melunak. Tapi pekan lalu Djufrie menyanggah pergeseran sikap di partainya.
Hakam Naja menyatakan bisa saja dicapai titik kompromi. Ia mengajukan jalan tengah: pengurus atau anggota partai tetap haram masuk Komisi Pemilu. Tapi politikus bisa masuk Dewan Kehormatan. ”Kalau KPU tidak bekerja dengan baik, Dewan Kehormatan bisa langsung bergerak,” ia menjelaskan.
Peneliti dari Indonesia Parliamen-tary Center, Erik Kurniawan, mengingatkan Dewan agar segera menyelesaikan perbedaan dan menyelesaikan rancangan undang-undang. Idealnya, ia mengatakan KPU dibentuk tiga tahun sebelum pemilihan. ”Jadi pertengahan 2011 harus sudah ada KPU baru,” katanya. Ia beranggapan Komisi Pemilu tetap harus bebas dari politikus.
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo