Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA pintu kontainer putih itu dibuka, bau menyengat langsung menusuk hidung—campuran antara aroma langu dan bau karet basah. Lima menit saja berdiri di dekatnya, isi perut bisa terkuras keluar.
Tumpukan itu lebih dari sekadar sampah. Bubur lateks basah, bercampur kondom yang sudah terurai, terserak tanpa pembungkus. Alat kontrasepsi itu kusam dan lengket satu sama lain. Rupa-rupa warnanya: putih, biru, merah, dan kuning. Ukurannya lebih besar dari kondom kebanyakan. Tak jelas, apakah memang kondom itu berukuran jumbo atau karena telah melar karena cuaca.
Teronggok di pelataran Terminal Kontainer Internasional Jakarta, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, berat barang yang telah lendir berair itu tak tanggung-tanggung: 26 ton!
Adalah aparat Bea dan Cukai yang menahan barang impor itu pada akhir November lalu. Langkah itu diambil berdasarkan laporan petugas intelijen di lapangan. Dua pekan lalu temuan sampah itu diumumkan. ”Ini sebenarnya tindakan preventif,” kata Agung Kuswandono, Kepala Kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok. ”Kami khawatir isi kontainer ini mengandung kuman dan bakteri yang berbahaya,” katanya.
Pada saat membuka kontainer itu, Agung mengajak petugas Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri. Dua sampel kondom langsung dibawa untuk diuji di laboratorium. ”Kami sekarang menunggu hasil uji polisi,” kata Agung.
Jika terbukti mengandung sisa sperma dan bakteri, kiriman satu kontainer kondom itu tidak bisa digolongkan sebagai impor bahan baku biasa, seperti yang tertera di dokumen pengapalan importirnya. ”Barang itu harus diklasifikasikan sebagai limbah,” kata Agung. Dengan begitu, si pengimpor wajib mendapatkan izin dari Departemen Perdagangan dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Belum lagi soal ini jernih, sepekan kemudian satu kontainer kondom lagi-lagi mampir ke Tanjung Priok. Kali ini berasal dari Vietnam. Bedanya, kondom dalam kontainer yang kedua ini relatif lebih bersih: tergulung dan dikemas rapi dalam kardus. ”Kalau yang ini mungkin barang cacat produksi, bukan bekas pakai,” kata Agung.
ADALAH perusahaan Korea Selatan, PT Rubber and Rubber Tech., yang mengimpor kedua kontainer kondom itu. Perusahaan yang berdiri pada 2002 ini berkantor di kawasan berikat Hyundai International Industrial Estate, Lippo Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
Situs Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah Jawa Barat menyebutkan nilai investasi perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan karet sintetis ini mencapai US$ 2,9 juta.
”Kami memproduksi karet setengah jadi untuk pasar ekspor,” kata salah satu manajer PT Rubber, Sugiarto, saat ditemui di pabriknya pekan lalu. Perusahaan itu kini memiliki dua pabrik di Lippo Cikarang. Nilai investasinya pun ikut berlipat. ”Awalnya memang US$ 2,9 juta. Sekarang sudah lebih,” kata Sugiarto. Setiap bulan, produksi PT Rubber mencapai 500 ton karet setengah jadi. ”Sekitar 80 ton di antaranya menggunakan bahan baku lateks,” katanya.
Karena itulah, kata Sugiarto, pabriknya membutuhkan kondom, sarung tangan, dan produk lain yang terbuat dari lateks, dalam jumlah besar. Bahan impor dipilih karena kualitasnya lebih bagus daripada bahan negeri sendiri. ”Di luar negeri, lateks yang dipergunakan sebagai bahan kondom lebih kuat,” katanya. Dengan metode khusus, serat karet dari kondom bisa diolah kembali dan dibuat menjadi karet sintetis setengah jadi (butyl reclaimed rubber).
Sugiarto menjamin perusahaannya sudah memenuhi semua persyaratan perizinan yang diminta pemerintah. ”Apalagi kami sudah mengimpor bahan baku seperti itu sejak enam tahun lalu,” katanya. ”Dulu tidak pernah ada masalah.” Akibat bahan bakunya ditahan, produksi lateks PT Rubber kini terhenti.
Sugiarto berani memastikan kondom yang diimpor pabriknya bukan kondom bekas. ”Saya jamin itu barang cacat produksi,” katanya. ”Kalau memang bekas, bagaimana caranya saya mengumpulkan puluhan ton kondom yang sudah dipakai orang?” katanya balik bertanya.
Soal kondisi kondom yang lengket dan bau, pria setengah baya ini punya penjelasan. ”Namanya juga barang cacat, ya tidak disimpan di gudang,” katanya. Saking seringnya kepanasan dan kehujanan di luar gudang penyimpanan, ribuan kondom itu layu, lengket, dan memudar warnanya. ”Jadi, bukan karena bekas dipakai orang.”
Pengirim kondom itu adalah perusahaan bernama Schwalbe International Metals and Alloys GmbH. Adapun kontainernya dikapalkan dari pelabuhan Deham, Hamburg, Jerman.
Menyebut nama Schwalbe, yang langsung terbayang adalah merek ban sepeda tersohor dari Jerman. Produsen ban sepeda ini memang dikenal menerapkan kebijakan daur ulang yang ketat. Soalnya, di Jerman ada 10 juta ban bekas yang dibuang pemiliknya setiap tahun. Itu tidak termasuk ban dalam pelbagai kendaraan.
Karena itu, sejak 1993, semua ban bekas merek Schwalbe biasanya disetorkan kembali ke pabrik pembuatnya. Ban sepeda bekas itu lalu didaur ulang menjadi matras dan material bangunan lain. Daur ulang bisa dilakukan di Jerman, bisa juga di negara lain.
Sebelum ada Schwalbe, tersebutlah Swallow, merek ban asal Korea. Pada 1973, Swallow diambil alih oleh Jerman dan namanya diganti menjadi Schwalbe. Tidak terlalu jelas adakah Swallow alias Schwalbe punya hubungan dengan PT Rubber and Rubber Tech yang juga dari Korea. Tidak juga jelas adakah hubungan antara Ralf Bohle GmbH, perusahaan yang memproduksi ban sepeda Schwalbe, dengan Schwalbe International GmbH—pengimpor kondom tersebut.
Menurut pusat data bisnis Jerman di Hamburg, Schwalbe International adalah perusahaan yang bergerak di bidang daur ulang bijih metal dan campuran metal.
Bagaimana sebuah perusahaan daur ulang besi dan peralatan metal di Hamburg bisa terlibat ekspor kondom yang jelas-jelas terbuat dari karet ke Tanjung Priok, juga masih samar. Situs Internet Schwalbe International tidak menyediakan alamat yang bisa dihubungi.
Soal ini, Sugiarto tak banyak bicara. Katanya, Schwalbe International perusahaan besar. ”Saya pernah lihat pabriknya di Jerman,” katanya.
PT RUBBER tentu saja tidak berpangku tangan menyaksikan barang pesanannya tak bisa keluar dari Tanjung Priok. Sepekan terakhir, para pemimpin perusahaan Korea ini keluar-masuk kantor Bea Cukai dan Kementerian Lingkungan Hidup, mencari penyelesaian. Namun upaya itu naga-naganya bakal membentur tembok. ”Bea Cukai ngotot,” kata Sugiarto mengeluh.
Menurut Agung Kuswandono, pihaknya hanya akan melaksanakan apa pun hasil penelitian laboratorium polisi. ”Jika memang tidak ditemukan kuman penyakit, ya barang itu jadi legal,” katanya.
Kini bola ada di tangan Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian RI. Pekan lalu, uji laboratorium itu sudah selesai dan laporannya akan segera diserahkan ke Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Hasilnya? ”Ada unsur air mani,” bisik sumber Tempo di Mabes Polri. Sugiarto sendiri sudah pasrah. ”Kalau memang salah, silakan dikembalikan saja,” katanya pendek.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo